Rabu, 02 Maret 2011

AMBISI YANG SALAH DARI SEORANG GADIS DESA ( CERPEN )

Ginem, gadis desa asal Klaten ini, baru saja menduduki bangku kuliah di suatu Perguruan Tinggi di Jakarta. Pindah dari desa ke Jakarta dan menetap dirumah kecil miliknya. Hidup hanya berdua dengan ibunya, yang biasa dipanggil Ginem dengan sebutan “si mbok” semenjak almarhum bapaknya meninggal dua tahun yang lalu saat Ginem masih menginjakkan kaki dibangku SMA. Hidup berdua dengan ibunya yang jauh dari kata kecukupan dalam hal ekonomi. Namun, biar begitu ibunya tetap ingin berjuang mengantarkan Ginem ke bangku kuliah hingga lulus nantinya. Ibunya pun sambil berjualan gado – gado keliling demi mencari penghasilan sehari – hari, disamping berjualan gado – gado keliling, ibunya pun seringkali mendapat panggilan untuk menjadi tukang urut dari rumah ke rumah hingga malam hari, lagi – lagi semua demi Ginem, anak satu – satunya yang ia punya, harapan satu – satunya baginya kelak dirinya sudah tidak mampu lagi berbuat banyak dihari tuanya.

Ginem datang dari desa karena ingin lebih maju lagi dalam hal pendidikan dan karirnya nanti. Tertanam pula dihatinya jika kelak ia berhasil, ia ingin membalas semua kebaikan ibunya, tidak akan lagi membiarkan ibunya banting tulang berjualan gado – gado keliling disiang hari hingga sore dan membiarkannya menjadi tukang urut dari rumah ke rumah saat malam hari. Ginem yakin ia mampu lulus kuliah dengan prestasi yang baik, dan bekerja seperti yang ia harapkan, tentunya yang akan membuat senyum bangga dan bahagia ibunya tercinta. Ia berjanji ia takkan sedikitpun mengecewakan ibunya.

Disisi lain, mulai terpancing keinginan Ginem untuk mencoba – coba apa yang ada di Jakarta yang memiliki banyak perbedaan dengan lingkungan desanya. Ginem ingin sekali merasakan hal – hal indah dan menyenangkan seperti yang ia sering tonton di TV, dimana remaja – remaja metropolitan yang hidup glamour, bebas jalan-jalan ke Mall untuk shopping atau sekadar nonton bioskop, bisa punya ini itu, dan banyak didekati cowok – cowok keren.

********

Kuliah pertamanya, Ginem belum memiliki teman. Sedangkan teman – teman sekelasnya yang lain terlihat sudah saling kenal dan akrab, sudah bisa bercanda – canda satu sama lain. Ginem masih merasa sendiri, tak ada yang ingin menjadi temannya, mungkin karena ia merasa minder dan malu sebagai cewek desa, yang jelas sekali latar belakang budayanya sudah berbeda. Ginem pun merasa penampilannya sangat berbeda jauh dari mahasiswa lain, yang memakai pakaian yang cantik – cantik, dress yang keren – keren, yang seenggaknya dari segi penampilan layak dicap sebagai anak Jakarta. Tidak seperti dirinya yang berpenampilan sangat sederhana, bahkan sempat ia mendengar celetukan dari teman kelasnya jika penampilannya norak. Jangankan dari penampilan fisik, dari cara bicaranya pun Ginem sudah berbeda, terkadang Bahasa Indonesia-nya sering tercampur dengan bahasa jawanya yang masih kental, suaranya masih medok tidak seperti yang lain yang bahkan banyak memakai bahasa – bahasa gaul yang seringkali membuatnya bingung. Itulah yang membuatnya sulit bergaul dan berbaur, hingga diawal – awal perkuliahannya ia belum memiliki teman.

Sepulangnya dari kuliah, Ginem ingin pergi ke Mall yang terkenal di Ibu Kota. Rasa penasaran menggugahnya untuk pergi kesana sendiri, tanpa ada yang bersedia menemaninya. Sesampainya disana, Ginem bingung dengan tempat itu, tempat yang megah dan sangat mewah yang sering ia liat di TV saat didesanya dulu. Pakaian – pakaian yang trendy semua tersedia disini, banyak pilihan yang bagus – bagus, ada salon – salon terkenal, ada bioskop yang luas dan keren yang tentunya tidak pernah ia liat selama di desa, restaurant-restaurant yang menjual makanan – makanan yang sangat menggiurkan baginya, dan masih banyak lagi yang membuatnya terkagum – kagum dengan mall tersebut. Lantai demi lantai Ginem lewati untuk melihat setiap tempat disana, dan betapa girangnya Ginem saat pertama kalinya ia menginjakkan kakinya menaiki escalator berjalan untuk menaiki dan menuruni setiap lantai.

“Waaahhh…. Asik bener ya disini!! Pantas saja di TV aku sering lihat artis – artis datang kesini, owalahh…ternyata bagus banget tempatnya..!! Mall seperti ini mah tidak ada di desa, adanya cuma sawah, kebun, pasar, kandang kambingnya si mbok, mentok – mentok paling bagus ya pertunjukkan layar tancep sama wayang. Enaknya hidup di Jakarta.” ucap Ginem sendiri karena saking kagumnya dengan Mall semegah ini.

Tak lama ia berjalan – jalan di Mall, ia merasa seperti ingin buang air kecil, segera ia mencari toilet umum di Mall sambil berlari – lari kecil karena khawatir ia tak bisa menahannya. Sudah keliling – keliling Ginem disepanjang Mall, tak juga ia menemukan toilet umum, Ginem pun menggerutu didalam hati. Bagaimana tidak, di Mall semegah ini ia sama sekali tidak menemukan toilet umum yang ia cari – cari.

“Ini Mall sebesar ini masa tidak ada toiletnya, waahh ya mendingan dikampungku, toilet banyak. Kalau tidak ada toilet, banyak kali juga, jadi tidak ada yang bingung – bingung jika ingin buang air seperti aku ini. Bisa buang air dicelana ini aku, aduuuhhhh….” Gerutu Ginem sendiri yang entah pada siapa ia ingin melampiaskan kekesalannya.

Kemudian dia melihat ada security penjaga disudut lantai 3, Ginem pun langsung menghampirinya dan sekalian ingin menanyakan keberadaan toilet di Mall ini.

“Permisi pak, saya mau tanya ini, sekalian saya mau komplen, masa Mall segede ini ga ada toilet sama sekali pak, masa saya harus pulang dulu kerumah untuk buang air kecil terus balik lagi kesini untuk jalan – jalan lagi? Sampean ik lohi, apa ga komplen sampean sama pemilik Mall nya? Dikampung saya pak, walaupun tidak ada AC-nya, walaupun ga ada bangunan mewah seperti ini, tapi kalau urusan buang air tuh gampang pak, ga ada tuh orang yang harus keliling – keliling jauh untuk nyari tempat pembuangan, dimana – mana banyak kali juga. Heran saya ditempat elite begini bisa – bisanya ga ada toilet. Kota kaya opo kota miskin to iki?” Protes Ginem kepada security yang ada dihadapannya.

“Mbak ini mau apa ya maksudnya? Nanya tempat toilet atau mau marah – marah ga jelas? Jangan – jangan mbak gila lagi?” jawab security itu dengan nada kesal.

“Eehh sampean iki seenake dewe ngomongke aku wong edan, sampean sing edan. Saya ini cuma mau nanya pak, toilet disini itu dimana?”

“Bilang mbak dari tadi, ini disamping saya toilet, tulisan segede itu mbak ga liat, bikin emosi saya aja.” Jawab security lagi.

Ginem salah tingkah, dia sadar dia salah sudah marah – marah tanpa sebab, sampai – sampai dia tidak menyadari kalau tulisan “TOILET” ada didepan mukanya. Dia pun segera meminta maaf kepada security tersebut dan langsung buru – buru memasuki toilet.

“hehehe… Maaf yah pak security yang ganteng, saya tidak lihat tulisannya, permisi pak.” Ginem berlalu sambil menahan malu dimukanya.

“Dasar wong edan..!!” Kata security tersebut.

Akhirnya Ginem bisa bernafas lega, setelah menunggu antrian panjang untuk masuk toilet, lega sudah rasanya. Namun ia bingung, saat akan keluar dari pintu toilet, dia ditagih pembayaran tarif toilet seharga seribu rupiah , jelas saja Ginem menolak untuk membayar, dia keberatan dengan peraturan disini jika buang air saja harus terkena bayaran.

“Mbak, jangan pergi dulu, ini bayar toiletnya belum.” Kata penjaga toilet ketika mengetahui Ginem main keluar meninggalkan toilet begitu saja tanpa membayar tarif toilet sepeserpun.

“Apa? Bayar toilet? Peraturan darimana itu mas? Siapa yang bikin peraturan itu? Saya tidak mau bayar!” Ginem merasa keberatan dengan peraturan tersebut.

“Ga bisa begitu mbak, ini sudah peraturan, mbak harus bayar, saya digaji juga dari uang toilet mbak.”

“SAYA TIDAK MAU BAYAR!!” Jawab Ginem mulai ngotot.

“POKOKNYA MBAK HARUS BAYAR!!” penjaga toiletnya pun tak kalah ngototnya dengan Ginem.

Akhirnya terjadilah pertengkaran mulut antara Ginem dan penjaga toilet. Tadi bertengkar dengan security, sekarang bertengkar juga dengan penjaga toilet. Keributan mereka pun terdengar hingga luar toilet. Mau tidak mau, security tadi ikut masuk dan ingin melerai mereka berdua. Tapi betapa kagetnya pak security tadi ketika ternyata yang bertengkar dengan penjaga toilet tersebut adalah wanita yang tadi juga sudah memaki – maki dirinya tanpa sebab. Dan Ginem pun agak kesal kelihatannya melihat security tadi datang lagi menghampirinya.

“Kamu lagi, kamu lagi.. bikin ulah aja kamu dimana – mana. Ingat ini tempat umum, dilarang membuat keributan disini. Ada apa lagi memang sampai seperti ini kejadiannya?” Pak Security tadi bicara dengan nada yang agak kesal.

“Dia duluan pak yang mulai.” Kata Ginem sambil menunjuk kearah hidung penjaga toilet yang pesek.

“Bohong pak, mbak ini duluan yang mulai, dia ga mau membayar tarif toilet disini, kalau tidak membayar nanti saya juga pak yang kena marah.” Kata penjaga toilet yang juga tidak mau kalah membela diri.

“Jadi menurut bapak siapa yang salah?” Tanya penjaga toilet itu lagi ke security.

“Mbak ini yang salah, mbak seharusnya mengikuti peraturan disini jika memang toilet disini dikenakan tarif. Dimana – mana sudah tidak ada yang gratis mbak, disini itu buang air saja harus bayar.” Kata pak security kemudian

“Apa bapak bilang? Di Jakarta apapun itu serba bayar? Ya saya tidak sanggup kalau begini caranya. Ini saya bayar, saya tidak mau kesini lagi.” Jawab Ginem kesal.

Ginem memberikan uang seribu rupiah sambil menggerutu sendiri, dia tidak terima jika ke toilet pun di Jakarta ini harus bayar. Diapun berlalu meninggalkan toilet, berjalan kembali mengelilingi Mall. Semua sangat berbeda dengan saat dia didesa, semua serba murah, masyarakatnya ramah – ramah, dan tidak ada pengenaan tarif berlebih dimana –mana. Ginem berpikir jika peraturan terus seperti ini, lama - lama kentut pun harus dikenakan tarif, lalu bagaimana nasib orang – orang yang sedang masuk angin yang pastinya akan sering kentut? Bayangkan saja jika sekali kentut dikenakan tarif seribu rupiah, sepuluh kali kentut sudah dipungut sepuluh ribu rupiah. Ya ampun, kasihan sekali orang hidup di Jakarta, pikirannya terus melayang - melayang membayangkan jika hal itu benar – benar terjadi nantinya.

Tiba – tiba tak sengaja karena sedang asik melihat kanan dan kiri dan melamun, Ginem menabrak sekumpulan cewek – cewek Jakarta yang cantik – cantik dan sexy – sexy yang sedang asik berjalan sambil tertawa – tawa membawa barang – barang belanjaan mereka.

“Aduh, maaf ya mbak, saya tak sengaja mbak.” Ginem panik karena takut dimarahi cewek – cewek itu saat menabrak mereka.

“Iya – iya gapapa ko. Lain kali makanya liat – liat jalan ya sist kalo jalan tuh,” kata Jenifer, salah satu dari sekumpulan cewek – cewek tersebut.

“Sis? Owalaahh… namaku ini bukan sisi mbak, makanya kalau ga tau nama saya ya nanya dulu mbak, jadi ga asal nyebut namaku.” Jawab Ginem yang tidak mengerti sebutan sist yang berarti sister, sebutan untuk perempuan.

“OMG…. Ni orang aneh banget deh sumpah, ga penting banget Jen. Udah cuekin ajalah makhluk kayak gini mah!” Kata Stevani.

“Iya ni.. aneh banget.. mana pakaiannya ga banget lagi Jen.” Sambung Jessica.

“Udah - udah sih, dia juga udah minta maaf ga sengaja katanya nabrak kita.” Kata Jenifer yang akrab dipanggil Jen ini.

“Mbak, makasih yah udah maafin saya, saya benar – benar ga sengaja mbak. Maaf banget mbak.” Kata Ginem memelas, takut dikeroyok sama tiga cewek cantik itu.

“ Udah gapapa ko, lain kali hati – hati yah.” Jawab Jenifer ramah.

“Oh iya mba, tadi mbak – mbak ini manggil saya Sis, apa ada yang mirip saya to mbak sing jenenge Sis kuwi mau.” Kata Ginem lagi dengan logat jawanya yang masih kental, yang sesungguhnya sulit dimengerti cewek – cewek itu.

“Mmm… maaf yah mbak, maksud kita tadi itu Sister atau sista gitu mbak. Bukan Sist nama orang. Aduh gimana yah ngomongnya, susah juga sih jelasinnya, hehe..” Jawab Jen sambil garuk – garuk kepala karena bingung.

“Ooo… saya pikir mbak – mbak ini punya temen yang mirip aku yang namanya Sis tadi, hahaha.. ya maklumlah mbak, aku ini baru pindah dari kampung, masih belum paham bahasa – bahasa gaul disini. Mbak – mbak ini namanya siapa yah? Barangkali kita bisa jadi teman, aku butuh teman untuk cari tahu banyak tentang Jakarta mba.” Ginem mengajak mereka berkenalan.

“ Nama gw Jenifer, lo panggil gw Jen aja. Disamping gw ini temen gw, namanya Jessica. Yang satu lagi itu namanya Stevani. Lo sendiri namanya siapa?” Jenifer balik nanya.

“Wah, nama mbak – mbak ini cantik – cantik banget yah seperti orangnya, hehe.. Keliatan sekali orang kota dari namanya saja.”

Thank you, nama lo sendiri emang siapa?” Tanya balik Jessica.

“Namaku… Mmm… Namaku.. Gin.. Gin.. Gina mbak. Iya benar namaku Gina Ayunita mbak. Bagus juga kan namaku?” Jawab Ginem sengaja berbohong, karena mulai merasa minder dan malu dengan nama pemberian ibunya yang bisa dibilang masih “ndeso” untuk standar orang Jakarta, yang sesungguhnya dirinya bernama Ginem Ayuningsih. Ia pikir dengan merubah namanya dia bisa lebih diterima disini, terutama dengan teman – teman barunya.

“Okelah. By the way, kamu dengan siapa kesini? Sendirian saja?”Jenifer kembali bertanya sambil memulai jalan kembali bersama teman - temannya, kali ini juga bersama Ginem.

“Iya mbak aku sendirian disini, aku belum punya teman mbak, aku cuma sama si mbok saja dirumah.”

“Kamu kuliah atau kerja? Terus dimana?” sambung Stevani.

“Aku kuliah mbak disini, di Universitas Harapan, ya walaupun hidup aku dan si mbok serba pas – pasan semenjak bapak meninggal, si mbok tetep optimis bisa menguliahkan aku mbak. Trus mbak – mbak ini juga kuliah? Dimana?” Ginem mulai merasa akrab dengan mereka.

“Kita bertiga ini juga kuliah, di Universitas Internasional, kita memang sahabatan semenjak SMA, kemana – kemana ya selalu bareng.” Stevani menjawab dengan wajah yang lebih ramah dari sebelumnya, karena melihat Ginem sepertinya anak baik – baik dan lugu.

“ Mbak – mbak ini mau ga jadi teman saya selama saya di Jakarta, saya suka merasa kesepian mbak belum mampu beradaptasi disini, beda sekali dengan didesa, mau kan mbak? Mbak – mbak ini kelihatannya ramah.” Kali ini Ginem berharap mereka bertiga juga bisa menjadi teman barunya sekaligus sahabatnya selama di Jakarta.

“Ya kita sih asik – asik aja ya ga cuy?” Tanya Jenifer balik ke teman – temannya.

“Yuph, benar banget tuh, asal menurut gw, ubah dulu deh penampilan lo, ga banget kalau jalan sama kita. Kalau dilihat dari persentase, persentase penampilan lo tuh masih 10%, alias kampungan, hahahhahaa…” sambung Jessica sambil sedikit mengejek penampilan Ginem, yang ia ketahui bernama Gina itu.

“Memang apa to mbak yang kurang dari penampilan saya? Muka saya sudah mirip Sandra Dewi, rambut saya panjang sudah seperti Alisha Subandono toh, terus ditambah kulit saya juga hitam manis begini, eksotis – eksotis gimana gitu to mbak.” Jawab Ginem merasa dirinya sudah terlihat menarik dimata orang sambil meyebutkan nama artis – artis yang menurutnya mirip dengan dirinya.

“Hahahahhaa… Lucu banget, sumpah lo PD abis, tapi salut gw sama kepercayaan diri lo, hahaha…” Jessica tertawa terbahak – bahak mendengar ucapan Ginem yang merasa sudah oke dimatanya.

“Bukan itu maksud gw. Aduh susah deh ngomong sama orang kampung. Itu tuh liat baju lo, jangan dimasukin ke celana begitu, pakai ikat pinggang bapak – bapak lagi. Terus itu lagi rambut segala dikepang dua begitu, ya ampuuunnn….. Gini deh, lo mau ikut kita ga sekarang?” Stevani mulai geregetan dengan tingkah dan penampilannya Ginem.

“Ikut kemana mbak? Jangan culik aku ya, aku ga punya apa – apa, ibuku Cuma penjual gado – gado keliling mbak, ga ada yang bisa kasih tebusannya.” Ginem mulai ketakutan, ia takut diculik oleh tiga sekawan yang sedang bersamanya saat ini.

“Siapa juga yang mau nyulik lo? Tanpa nyulik lo dan minta tebusan, duit gw udah banyak kali, hahaha… Kita ini sekarang pada mau ke salon di Mall sini, kalau lo mau jadi teman kita, ayo ikut kita ke salon, ubah deh semua penampilan lo di salon.” Stevani kembali menjawab ocehan Ginem.

“Yah si mbak – mbak ini kan banyak uangnya, lah saya? Uang saya cuma cukup untuk naik angkot pulang mbak, ya kecuali kalau mbak mau mentraktir saya di salon, hehhee… kan kita sudah temanan katanya.”

“Ya udah Gina, lo ikut gw ke salon, untuk sekarang biar gw yang bayarin. Tapi lain kali modal sendiri ya, deal?”Jenifer bersedia mentraktir Ginem ke Salon terkenal di Mall itu, yang membuat Ginem kegirangan.

Deal mbak.” Jawab Ginem setuju

Sesampainya di salon yang dimaksud, Ginem disuruh menunggu dulu dibangku tunggu. Sedangkan Jenifer, Stefani, dan Jessica terlebih dahulu dipegang oleh pegawai salonnya. Jenifer sedang asik dicreambath sambil dipijit – pijit punggungnya. Kelihatannya Jenifer sangat menikmati pelayanan dari salon tersebut. Dibangku sebelahnya nampak Stevani yang sedang menikmati pelayanan hair spanya. Dan diujung sana terlihat Jessica yang memilki tubuh tinggi, langsing, putih, dan cantik, sedang asik menikmati refleksi di kakinya yang mulai terasa pegal – pegal karena sudah lumayan lama juga mereka jalan berbelanja mengelilingi seisi ruang di Mall ini.

Tidak lama kemudian, kurang lebih satu jam lamanya, Jenifer, Stevani, dan Jessica selesai dilayani dengan sempurna di salon tersebut. Dan sekarang tiba gilirannya Ginem yang ingin “dirombak” total penampilannya. Terlihat ditempat Jenifer duduk tadi, Jenifer sedikit berbincang – bincang kepada pegawai salon langganannya, yang biasa memegangi Jenifer saat berkunjung ke salon tersebut.

“Mbak, aku punya teman, lagi nunggu dibangku tunggu, dia tuh orang kampung gitu mbak, aku mau mbak dandanin dia sampai perfect deh, rambutnya dirapihin, kalau perlu dipotong tapi yang keren, di make-up yang soft aja tapi tetep cantik dilihatnya, pokoknya mba ubah total semua penampilannya, urusan bayar itu urusan aku, oke mba?” Jenifer meminta mbak Nita, pegawai salon langganan Jenifer, untuk mengubah penampilan Ginem agar terlihat tambah cantik dan pastinya jadi pantas diajak jalan – jalan bersama mereka.

“Oke mbak, itu mah gampang, serahin aja sama aku, kalau masalah ubah – mengubah penampilan mah saya jagonya. Ngomong – ngomong yang mana sist orangnya?” Jawab Mbak Nita meyakinkan Jenifer jika ia mampu mengubah penampilan Ginem.

“Yang itu tuh yang pakai baju kotak-kotak biru yang dimasukkin ke celana jeans itu. Nanti aku panggil kesini yah orangnya.” Jenifer sambil menunjuk Ginem yang sedang duduk ditengah – tengah antrian yang lain.

“Ya ampun, berantakan banget yah dia, ya udah sist kamu ajak aja dia kesini, biar aku rombak dia, hahaha..” Mbak Nita sedikit menertawai penampilan Ginem.

Jenifer lalu menghampiri Ginem yang sedang duduk menunggu gilirannya, dan mengantarkannya ke mbak Tina, pegawai salon kepercayaannya. Awalnya Ginem agak canggung, takut, dan grogi berada disalon sebagus ini.

“Mbak Jen, saya ko takut yah, saya ga pernah mbak pergi ke salon seperti ini, biasanya aku tuh kalau potong rambut sama si mbok, mboku ya bisa mbak kalau cuma potong rambut begini.” Kata Ginem yang mulai agak grogi saat ingin diubah penampilannya.

“Tenang aja mbak, ayo cuci dulu rambutnya.” Sambut ramah Mbak Nita.

Disana terlihat Ginem sedang didandani dengan apiknya. Rambutnya dipotong lebih rapi dari sebelumnya, walaupun Ginem awalnya terlihat menolak untuk dipotong, namun akhirnya menurut juga. Dicreambath juga, lalu dicatok supaya terlihat makin cantik dan membentuk rambutnya. Wajah Ginem pun tak luput dari kerjaan Mbak Tina, diambilnya make-up lalu dipoleskannya sedikit demi sedikit diwajah Ginem, make-up yang terlihat natural namun tetap membuat kesan cantik.

Hampir dua jam lamanya Jenifer, Stevani, dan Jessica menunggu Ginem diruang tunggu, tak sabar melihat seperti apa penampilan Ginem setelah dipercantik di salon. Jenifer telah memesan untuk memberikan hasil yang maksimal untuk teman barunya itu, Ginem, yang dikenalnya bernama Gina. Tak lama kemudian Ginem telah selesai diubah penampilannya, datang ke ruang tunggu menghampiri teman –temannya itu.

“Mbak, saya sudah lebih cantik belum mbak?” Suara Ginem sedikit mengagetkan Jenifer, Stevani, dan Jessica yang sedang melamun sambil menunggu Ginem selesai didandani.

“Woowww…” Ucap Jessica dan stevani tak sadar berbarengan, sedikit tak menyangka dengan apa yang dilihatnya. Ginem terlihat sangat cantik, sama sekali tak kentara jika sebenarnya ia adalah anak kampung.

“Lo cantik banget Gina, sumpah ga bohong!” Kata Jenifer mengagumi penampilan Ginem yang jauh lebih baik dari yang tadi.

“Ah, si mbak Jen ini bisa saja, aku kan jadi Ge-er mbak, saya cantik yah mbak sekarang?” Ginem tersipu malu saat teman – teman barunya mulai mengagumi kecantikannya, dan teman – temannya pun mengakui jika Ginem sebenarnya itu cantik namun ia tak mau mendandaninya sehingga banyak orang yang tidak menyadari hal itu.

“Tapi baju lo itu Gina, masih kampung banget, mending diubah aja sekalian, daripada ga balance antara muka sama bajunya.” Kata Jessica sambil mengamati penampilan Ginem dari atas hingga bawah.

“Ya udah ikut gw yuk, kita ke toko baju sekarang, nanggung kalau udah begini.” Kata Jenifer kemudian

“Asiikkk… terimakasih yah mbak – mbak yang cuantik – cuantik, hehehe..” Ginem merasa sangat bahagia karena ia merasa telah memiliki teman – teman baru yang peduli padanya.

Akhirnya sampailah mereka ke toko baju langganan Jenifer dan kawan – kawan. Jenifer, Stevani, dan Jessica sibuk mencari – cari baju yang paling pas dan pantas untuk dipakai oleh Ginem. Satu demi satu rak baju mereka buka, dan akhirnya Jen menemukan baju yang dipikirnya pasti cocok untuk dipakai oleh Ginem. Baju berwarna pink, lebih tepatnya seperti blouse, tapi terlihat minim dan agak sexy. Bagi Jenifer dan kawan – kawan, blouse seperti itu tidak sexy, bahkan dibilang masih sangat biasa, tapi terlihat cantik jika dipakai. Namun, bagi Ginem blouse tersebut sangat sexy, terbuka sebagian dibagian lengan, dan terlalu membentuk badan, jadi Ginem merasa tidak nyaman memakainya. Ia biasa memakai pakaian yang longgar – longgar yang penting nyaman untuk dipakai.

“Gin, ini cocok untuk kamu, blousenya cantik, bahannya juga halus, pasti cocok untuk kamu, coba kamu pakai di fitting room.” Kata Jenifer yang langsung memberikan pakaian itu ke Ginem.

“Mbak apa ini baju layak pakai mba, bajunya saja sudah seperti kurang bahan mba. Ga mau ah mbak, nanti si mbok marah sama saya melihat saya pakai baju seperti ini.” Kata ginem sedikit menolak.

“Banyak ngemeng nih anak, udah lo coba aja dulu, gw anterin ayo.” Kata stevani menimpali.

Akhirnya mereka sampai fitting room, Ginem memutar – mutar badannya didepan kaca, lenggak – lenggok kesana – kemari. Agak risih juga dirinya, karena dia harus cape selalu membenarkan posisi bajunya yang sering melorot kebawah, menampakkan pundak putihnya, dan harus sering – sering membenarkan bajunya karena sering kali bajunya naik keatas saking nyetreetnya. Saat keluar dari fitting room, ia mengeluh kepada Jen karena ia merasa tidak nyaman dengan pakaian yang ia kenakan ini. Kalau bisa memesan, ia ingin baju yang longgar – longgar seperti yang ia pakai.

“Mbak, saya mau kaos oblong aja deh mbak, ga ribet seperti ini, liat ini bajunya kalau ga sering – sering dibenarkan, “bodongku” bisa terumbar kemana – mana, saya mau yang biasa saja mbak.” Kata Ginem yang seringkali merasa tidak nyaman dengan penampilannya saat memakai baju – baju sexy.

“Ini namanya trend Gina, sekarang ya zamannya pakaian – pakaian sexy dan cantik seperti ini, coba kamu lihat artis – artis di TV, pasti mereka juga memakai pakaian seperti ini, kalau lo ga mengikuti perkembangan zaman, lo ga akan punya teman banyak, orang – orang akan menjauhi lo karena mengira lo “jadul” dan kampungan. Katanya lo mau kayak kita, gimana sih? Konsisten dong kalau ngomong.” Celetuk Stevani yang sedikit mempengaruhi pikiran Ginem.

“Oh gitu ya mbak, jadi kalau saya pakai baju ini saya bisa seperti artis – artis di TV ya mbak?” Tanya Ginem sedikit tidak mengerti.

“Iya bener, mau kan lo jadi seperti kita, nurut deh, pasti banyak cowok – cowok yang langsung melirik lo.” Ucap Stevani sambil sedikit berbisik ditelinga Ginem.

Stevani mungkin bisa membaca pikiran Ginem yang hingga umurnya yang ke-20 belum juga memiliki pacar, tak ada satupun cowok yang ingin mendekatinya. Wajar saja menurutnya, penampilan bagi seorang wanita itu memang hal yang sangat penting, sedangkan apa yang ia lihat didiri Ginem sama sekali tidak ada yang bisa menarik perhatian cowok. Jika dia hidup didesa mungkin wajar baginya berpenampilan seperti itu, namun saat ini kenyataannya ia tinggal di Jakarta, kota Metropolitan, semua serba trendy, tidak akan ada yang melirik jika tidak ada yang menonjol didirinya.

Akhirnya merekapun membeli satu pakaian blouse tadi, yang langsung dipakai oleh Ginem. Betapa tidak, hanya dalam hitungan jam penampilan Ginem sudah berubah, sangat cantik dan feminine. Ginem yang sebelumnya dipandang aneh oleh orang – orang sekitarnya saat ia di Mall, berubah menjadi pusat perhatian cowok – cowok yang melihatnya. Betapa bahagianya hati Ginem menikmati suasana seperti ini, dimana dirinya saat ini menjadi pusat perhatian cowok – cowok tampan.

Tak terasa waktu sudah larut malam, sepanjang hari Ginem menikmati malam di ibu kota bersama teman – teman barunya. Jalan – jalan di Mall, berbelanja ini dan itu, makan – makan di restaurant mewah, dan bercanda – canda ria yang diselingi tawaan yang renyah disepanjang jalan ibu kota. Tak jarang lelaki yang melewatinya pasti meliriknya, bahkan ada yang sampai berani mencolek dirinya. Awalnya ginem merasa risih dengan hal itu, namun semakin lama Ginem pun semakin merasa nyaman dengan kondisinya saat ini, bahkan merasa bangga.

Ia lupa akan mboknya yang sangat mengkhawatirkan dirinya dirumah, ia lupa bahwa tugas – tugas siap menunggunya dirumah untuk dikumpulkan keesokan harinya. Satu hari ini, Ginem sedikit mengalami perubahan, entah positif atau negatif perubahan yang ia alami, ia pun tidak mengerti. Yang ia tahu ia ingin berubah hingga ia merasa ia mampu beradaptasi di Jakarta ini, dan tidak lagi merasa terasingi didunianya yang baru. Ia ingin esok hari dikampus tempatnya berkuliah, semua mata tertuju padanya, semua lelaki akan mengagumi dirinya, dan semua orang ingin mendekatinya, bahkan mungkin bisa membuat lelaki bertekuk lutut dihadapannya meminta untuk dijadikan pacar oleh dirinya. Ginem hanya tersenyum – senyum sendiri membayangkannya. “Lihat saja esok hari.” Kata Ginem dalam hati.

********

Akhirnya mereka berpisah diperempatan jalan, Ginem menaiki angkutan umum yang berbeda arah dengan Jenifer dan kawan – kawan. Sebelum mereka berpisah, tak lupa Ginem meminta nomor handphone mereka satu-per-satu. Jadi, suatu saat jika ada waktu luang tidak menutup kemungkinan mereka akan bertemu kembali untuk sekadar jalan – jalan untuk refreshing sejenak.

Sesampainya di rumah . . . .

“Kamu tu kemana saja to nduk, ga tau apa kamu tuh kalau mbok khawatir, pikiran mbok udah kemana – mana saja tadi.” Tanya Ibunya Ginem langsung saat melihat anak semata wayangnya pulang, ia sangat khawatir terhadap Ginem yang bisa dibilang masih buta akan kota Jakarta.

“Aku seharian jalan – jalan sama teman – teman baruku mbok, aku diajaknya keliling Mall, keliling kota, makan ditempat – tempat yang enak.” Jawab Ginem sambil membayangkan betapa indahnya hari ini baginya.

“Eh sebentar nduk, tadi tuh kamu ga memakai baju ini, baju dari mana ini nduk, ora sopan, ora nggenah. Kamu tau tidak, bajumu itu seperti baju cewek – cewek nakal. Mbok tidak suka kamu memakai baju ini lagi, copot bajumu, ganti sama yang biasanya saja.” Ibunya Ginem pun mulai melihat ada perubahan yang terjadi dalam diri Ginem.

“Owalahh, si mbok iki, ra ngerti saiki baju – baju seperti ini lagi zamannya mbok, coba mbok liat di TV, artis –artis ya seperti ini. Sekarang anakmu ini sudah seperti artis ibu kota mbok, iyo opo iyo ? hehehe…” Kata Ginem merasa bangga dengan dirinya yang baru.

“Ah, sakarepmu lah nduk, sing penting si mbok nitip amanah, jaga dirimu, mumpung si mbok masih ada. Jakarta itu kejam nduk, kamu yang belum ngerti apa – apa jangan mudah terhasut orang. Mbokmu ini nguliahin kamu sudah mati – matian, berjualan kesana – kemari cuma buat kamu, jangan kecewain mbok ya nduk.” Pesan Ibunya Ginem sambil berlalu kekamarnya, dan menyuruh Ginem segera tidur karena sudah larut malam.

Ginem pun tertidur pulas dengan seutas senyum kebahagiaan

********

Keesokan harinya…

Ginem terbangun karena ibunya yang membangunkannya, suaranya sudah mirip kentongan di pos ronda yang langsung menusuk gendang telinganya.

“Gineeemmm… Bangun..!!! kuliah jam berapa kamu nduk, belum mandi jam segini.” Suara ibunya yang seperti kentongan tadi langsung cepat membuka mata Ginem yang sedang terlelap tidur.

“Masih ngantuk ah, cape aku mbok.” Suara Ginem terdengar malas – malasan, karena terlalu cape kemarin seharian jalan – jalan bersama temannya

“Kamu itu kuliah atau nggak to nduk, jam segini belum bangun. Bangun, mandi, terus sarapan. Eh si mbok udah masakin nasi goreng kesukaanmu, ayo bangun nduk.”

“Iya mbok, aku tak mandi disik.” Jawab Ginem sedikit agak bermalas – malasan.

Agak bermalas – malasan Ginem ke kamar mandi. Baginya waktu lima menit lagi sangatlah berharga untuknya melanjutkan tidur sejenak. Ginem sempat berpikir, bahwa dirinya akan meluangkan waktunya lima menit dikamar mandi untuk sejenak melanjutkan mimpinya yang tadi tertunda.

Satu jam berlalu, ibunya Ginem agak curiga mengapa lama sekali Ginem mandi, tidak seperti biasanya. Akhirnya ia menghampiri Ginem yang berada dikamar mandi. Alangkah terkejut Ibunya Ginem saat melihat Ginem tidur dikamar mandi dengan pintu yang tidak dikunci. Ginem belum mandi sama sekali. Niatnya yang ingin tidur hanya lima menit, ternyata hingga satu jam lamanya ia pulas dalam tidurnya dikamar mandi. Awalnya dikira Ginem pingsan, namun ternyata Ginem tertidur.

Setelah Ginem tersadar dari tidurnya dan melihat sosok mboknya yang berdiri yang terus menatapya, Ginem hanya bisa tertawa sendiri, sampai akhirnya menyuruh mboknya keluar kamar mandi dan ia bergegas untuk mandi. Kali ini ia berjanji akan benar – benar mandi dan tidak untuk tidur lagi.

Setengah jam berlalu, Ginem keluar dari kamar mandinya, kekhawatiran ibunya bahwa Ginem akan teridur lagi ternyata tidak terjadi. Kemudian ia langsung kekamarnya untuk berias diri tidak seperti biasanya. Biasanya Ginem hanya memakai baju dan parfum lalu berangkat. Tapi kini lain, dibukanya kacamata tebal milikya, dipasangnya softlense minus 4 miliknya, yang kemarin malam sempat dibelikan oleh Jenifer. Disisirnya dengan rapi rambut barunya itu, terasa lebih lembut rambutnya, dan ia membiarkannya tergerai begitu saja, kali ini tidak dikepang dua ataupun dikuncir kuda lagi. Lalu wajahnya dipoleskannya dengan kosmetik yang mempercantiknya dirinya, dan tidak lupa parfum dengan wangi yang lembut, tidak menyengat bagi siapa saja yang menghirupnya. Dipakainya blouse yang kemarin ia beli dan tidak lupa rok yang tidak lebih dari sebatas lutut pun ia kenakan. Lalu terakhir ia mengambil sepatu high heels di rak sepatunya, ternyata ia punya satu sepatu yang biasa ia pakai hanya jika mendatangi suatu undangan pernikahan, warna hitam dengan hak yang tidak terlalu tinggi siap melengkapi penampilannya hari ini. Tidak seperti hari – hari biasanya saat ini, Ginem tampak sangat mementingkan penampilannya. Ia yakin, cowok manapun akan menatapnya jika ia berjalan. Ginem senyum – senyum sendiri membayangkannya.

Lalu ia bergegas mengambil tasnya dan langsung ke meja makan menyusul ibunya yang dari tadi sudah siap menunggunya untuk sarapan bersama. Saat ia menghampiri ibunya, tak berkedip ibunya menatap penampilan Ginem. Kacamatanya, rambutnya, bajunya, roknya, semua tidak seperti biasanya. Antara suka dan tiduk suka perasaan ibunya bercampur aduk.

“Kamu tuh mau kekampus apa mau kemana to nduk?” Tanya ibunya yang dibuat bingung sediri.

“Mau ke pasar bu.” Jawab Ginem sekenanya.

“Hah? Ke pasar? Arep ngopo to nduk?” ibunya tambah bingung tak mengerti. Bagaimana tidak penampilan se-sexy ini ia bilang ingin ke pasar.

“Ya mau ke kampus lah mbokku sayang, ga liat aku apa sudah mirip artis begini mana mungkin aku sudi ke pasar mbok.” Jawabnya sambil tertawa renyah, membiarkan ibunya dalam diam kebingungan.

Nduk, ganti penampilanmu lagi gih dikamar, si mbok tidak suka kamu memakai pakaian seperti ini, mbok ga mau anak mbok kenapa – kenapa nantinya. Kamu tahu tidak, penampilanmu ini “mengundang” cowok – cowok berhidung belang. Hati – hati kamu itu, walaupun kita datang dari desa, kita harus tetap bisa jaga diri, jangan sampai kamu itu salah pergaulan, inget nduk Jakarta ini keras.” Nasehat ibunya karena saking khawatirnya dengan perubahan anak satu –satunya ini.

“Ah si mbok bawel banget sih, aku ini sudah besar mbok, aku tu bisa jaga diri. Mbok tahu tidak, dengan penampilanku yang sebelumnya aku itu ga punya teman mbok, ga ada yang mau menjadi temanku, aku dijauhkan, aku dibilang kampungan, norak, dan jadul mbok. Nah, kemarin aku ketemu teman baru yang baik – baik banget, namanya Jenifer, Stevani, Jessica. Mereka sangat membantu aku hingga banyak yang ingin mendekatiku sekarang. Nah, sekarang aku ini ingin membuktikan keteman – teman kampusku kalau aku itu tidak kampungan lagi mbok. Jadi aku ga mau kalau si mbok nyuruh aku ganti penampilanku lagi. Aku ingin cantik mbok.” Celoteh Ginem panjang lebar karena ia tidak ingin berpenampilan seperti sebelumnya. Ia ingin bisa sama seperti anak – anak Jakarta lainnya yang berpenampilan modist.

“Ya tapi mbok tidak suka, kamu mau ngelawan si mbok sekarang nduk? Kamu tahu tidak, bagi si mbok kamu itu sudah cantik, hati kamu yang cantik akan membuat mata semua orang juga melirikmu.” Kata ibunya ginem sambil berharap Ginem akan mengurungkan kembali niatnya untuk berangkat kuliah dengan pakaian seperti itu.

“Maaf mbok, kali ini saja Ginem tidak setuju dengan si mbok, aku wis gede, aku bisa jaga diri. Ya sudahlah, aku sudah tidak nafsu makan lagi, aku tak langsung berangkat saja mbok. Assalamualaikum.” Ginem mengurungkan niatnya untuk makan. Ia langsung berpamitan dengan ibunya dan langsung pergi menuju kampus.

Ginem tidak mengetahui, betapa sedih perasaan ibunya saat itu, Dimana ibunya merasa sedikit demi sedikit merasa kehilangan anak satu –satunya. Perubahan yang sedikit demi sedikit jika dibiarkan akan menjadi semakin dalam, dan Ginem tidak lagi menjadi anaknya yang lugu dan penurut. Ibunya kecewa untuk pertama kalinya kepada anaknya.

Sedangkan disisi lain Ginem sangat bahagia. Tak sabar dirinya menanti – nantikan respon dari laki – laki dikampusnya. Ia yakin, akan banyak yang menyanjungnya hari ini, akan ada banyak orang yang ingin mengenalnya dan ingin bersahabat dengannya, bahkan langsung menginginkannya menjadi pacar mereka.

Sekitar lima belas menit lamanya, Ginem sampai dikampusnya. Sesampainya dikampus, Ginem langsung menuju kelasnya yang terletak di lantai 4. Benar saja seperti dugaannya, semua mata lelaki tertuju padaya, melihat inchi demi inchi tubuh molek miliknya. Ginem tak lagi merasa risih, melainkan ia bangga dengan penampilannya saat ini yang bisa membius lelaki manapun yang melihatnya.

Ginem menuju ke kelasnya dengan menaiki lift dari lantai dasar, ternyata didalam lift ia bertemu dengan seorang cowok yang dari awal masuk kuliah memang sudah dikagumi olehnya, Rio namanya, perawakannya tampan, tinggi, putih, dan badannya yang atletis karena terang saja ia adalah pemain basket dikampusnya. Namun lelaki itu sama sekali tidak menganggapnya bahkan tidak meliriknya sedikitpun saat dirinya masih berpenampilan seperti sebelumnya.

Apa yang terjadi dengan keajaiban hari ini? Cowok itu tersenyum. Ya benar , ia tersenyum manis sekali. Ginem meyakinkan dirinya bahwa hanya dirinya yang sedang di lift bersamanya. Keringat bercucuran, badannya lemas dibuatnya, dan sepertinya lututnya tak sanggup lagi menopang badannya, rasanya ia ingin ambruk hanya dengan melihat senyumannya tadi. Namun Ginem cepat – cepat menguasai dirinya, tak ingin dirinya cepat terhanyut, dia harus sedikit jual mahal agar tidak disangka cewek “girang” yang kegirangan hanya dengan menerima senyuman yang sebenarnya bisa ia lihat dari siapapun.

Namun, tak lama ia langsung menyapa dan menanyakan jurusan dan kelas yang Ginem ambil. Gemetar lagi hati Ginem mendengar suaranya. Justin Bieber mungkin kalah merdu suaranya dengan lelaki yang sedang ada dihadapannya saat ini. Ya ampun, ternyata lelaki itu tidak sadar sama sekali jika sesungguhnya mereka itu satu kelas. Dia sama sekali tidak menyadari kalau cewek yang sedang bersamanya di lift saat ini adalah Ginem, orang yang tidak pernah dianggap keberadaanya dikelas, yang selalu dijauhi siapapun karena penampilannya yang sangat kampungan. Akhirnya Ginem mengakui jika dirinya satu kelas dengannya. Dan terlihat raut gembira diwajah Rio.

Triiing… lift telah sampai di lantai 4, dan pintu lift pun terbuka. Mereka bersama – sama memasuki kelas. Dan langsung saja terdengar bisik – bisik teman kelasnya yang lain yang menyangka dirinya adalah mahasiswa baru dikelas. Ginem hanya tersenyum mendengarnya. Ia merasa bak bidadari hari ini. Mungkin jika kampus ini digambarkan adalah sebuah majalah, Ginem adalah hot topics pekan ini. Hahaa.. ya seperti itulah.

Dosen pun langsung memasuki kelas menandakan mata kuliah akuntansi keuangan akan segera dimulai. Namun sebelum memulai perkuliahan, Dosen akuntansi keuangan ini, Pak Hantoro, memegang map absen berwarna kuning yang digunakannya untuk menghitung kehadiran mahasiswanya selama matakuliahnya berlangsung. Saat Dosen menyebutkan nama “Ginem Ayuningsih”, Ginem pun langsung mengangkat tangannya, dan betapa kagetnya teman – teman sekelasnya karena ternyata orang yang mereka anggap mahasiswa baru dikelasnya itu ternyata adalah Ginem, cewek kampungan, dekil, dan norak yang tidak pernah didekati siapapun.

********

Kuliah hari inipun selesai, bahagianya hati Ginem hari ini. Langsung berubah drastis perannya saat ini dikampus, dari makhluk kecil, kampungan, dan norak dikampusnya, menjadi sesuatu yang “wah” dan dikagumi banyak orang. Terlebih lagi, Rio, cowok yang ditaksirnya, semakin akrab dengannya, bahkan nanti malam ia mengajaknya makan malam di sebuah café terkenal di Jakarta.

Pulang kuliah, Ginem bertemu dengan Rio dihalte bus. Rio berhenti didepan Ginem dengan mobil Jazz miliknya, dan langsung membuka kaca mobil automatic tersebut.

“Gin, mau bareng tidak? Rumah kita kan searah.” Sapa Rio melepas keheningan Ginem yang sedang asik menunggu bus kota.

“Ah tidak Rio, terimakasih. Saya mau ke Mall dulu, mau shopping.” Jawab Ginem menolak ajakan Rio. Bukan bermaksud menolak, namun memang Ginem ingin ke Mall terlebih dahulu, ia ingin membelanjakan uang tabungannya untuk membeli pakaian – pakaian wanita yang bagus – bagus, khususnya untuk dipakai dinner malam ini dengan sang pujaan hati, Rio. Ginem tak ingin menyia – nyiakan moment berharganya nanti malam, karena kali pertama ia mendapat ajakan makan malam dari seorang laki – laki, terlebih laki – laki itu adalah laki – laki yan memang ia sukai.

“Sudah gapapa. Ayo naik, aku antarin kamu ke Mall, sekalian kita jalan - jalan, gimana?” Kata Rio yang sedikit memaksa Ginem untuk tidak lagi menolak ajakannya.

“Baiklah, asal tidak merepotkan kamu.”

“Sama sekali tidak.”

Rio pun segera keluar dari mobilnya dan membukakan pintu mobil dibangku sebelahnya untuk mempersilahkan Ginem masuk. Diperlakukan layaknya tuan puteri seperti itu, Ginem jadi salah tingkah. Ginem sangat bahagia. Dan mobilpun langsung meluncur ketempat yang dituju, Mall Taman Anggrek.

Rio memasuki parkiran mobil dan parkir ditempat yang kosong. Rio langsung keluar mobil dari pintu sebelahnya dan langsung membukakan kembali pintu disamping Ginem. Ah bahagianya hati Ginem. Kini semua tidaklah hanya sebatas mimpi baginya untuk berjalan berdampingan dengan seorang lelaki tampan. Digandengnya tangan Ginem memasuki pintu masuk Mall tersebut. Sepanjang jalan mereka bercanda tawa, saling mengenal satu sama lain. Dan Rio pun terpikat dengan Ginem saat ini. Diajaknya ginem memasuki Departement Store yang menjual pakaian – pakaian yang keren – keren dan pastinya dengan harga yang mahal.

Ginem bingung, semua pakaiannya bagus – bagus, ingin rasanya ia membeli semua model pakaian disini, namun apa daya untuk membeli satu baju saja rasanya uang ginem pas - pasan. Ginem terus berjalan menuju setiap rak yang ada didalamnya, dan Rio pun selalu membuntutinya kemanapun ia berjalan, serasa enggan Ginem hilang dari pandangannya. Akhirnya Ginem menemukan pakaian yang menurutnya sangat bagus dan cantik jika dipakai olehnya. Namun saat ia buka gantungan harganya, Ginem hanya bisa mendelik menelan ludah melihat label dengan harga yang tingginya selangit. Lagi – lagi Ginem harus berkhayal, kali ini ia berkhayal bisa membeli barang sebagus dan semahal itu. Sepertinya Rio paham maksud Ginem, ia langsung memanggil SPG penjaga rak pakaian tersebut dan meminta nota untuk dibayarkannya nanti dikasir.

“Rio, jangan ambil barang itu, aku tidak suka dengan warnanya. Warnanya merah, aku tidak suka warna merah, kita lihat yang lain saja yah.” Ucap Ginem berbohong. Membohongi dirinya sendiri jika sebenarnya ia tak ingin membeli pakaian itu lantaran uangnya jauh dari kata cukup. Untuk masalah warna Ginem sebenarnya sangat mencintai warna merah maroon, seperti pakaian yang ia pegang tadi.

“Tapi kamu akan lebih cantik memakai dress ini, biar aku yang bayar semua belanjaan kamu hari ini. Kamu coba gih sana di fitting room.” Jawab Rio meyakinkan Ginem bahwa ia cantik memakai dress itu.

Ginem mengambil 3 sample baju yang ingin ia coba difitting room. Satu gaun pesta warna pink yang sangat cocok ia pakai untuk dinner nanti malam, dan dua lainnya adalah dress cantik yang pasti sangat cocok dipakai Ginem untuk lebih menonjolkan kecantikannya. Setelah dicoba semua, dan dirasa sangat cocok dipakai, Ginem dan Rio menuju kasir untuk melakukan pembayaran atas semua barang – barang yang dibeli Ginem. Ginem sangat beruntung diajak jalan dengan cowok keren, tajir, dan ganteng seperti Rio.

Tak terasa jam telah menunjukkan pukul 5 sore. Ginem pun langsung diantarkan pulang oleh Rio dengan Jazz merahnya. Mobil langsung meluncur kearah rumah Ginem, dan sesamppainya disekitar rumah Ginem, Ginem ingin turun didepan gang saja, lantaran ia malu dengan keberadaan rumahnya yang masih gubuk, dan malu jika rio menangkap basah ibunya yang sedang berjualan gado – gado. Kali ini Ginem malu dengan kondisi ibunya, padahal semua ini dilakukan Ibunya Ginem hanya untuk bisa mengantarkan terus anaknya hingga lulus kuliah.

“Udah disini saja aku turun.” Kata Ginem tiba – tiba yang memaksa Rio memberhentikan laju mobilnya.

“Loh, rumah kamu dimana? Masih jauh dari sisni? Kenapa tidak sampai rumah saja biar aku sekalian berkenalan dengan mami kamu.” Jawab Rio bingung. Ginem pun bingung, ia tidak biasa memanggil mboknya dengan panggilan “Mami” seperti yang disebutkan Rio tadi.

“Hmmm… mamiku orangnya galak, nanti saja kamu berkenalan dengannya.” Kata Ginem yang sengaja berbohong karena malu dengan kondisi keluarganya. Ginem juga mulai mengubah –ubah panggilan kepada mboknya menjadi “Mami”. Ia lakukan semua ini karena ia sangat takut kehilangan Rio, orang yang baru saja dekat dengannya dan juga ia sukai dari awal bertemu dikelas.

“Okelah, kapan – kapan aku main yah. Nanti mau aku jemput dimana kamu untuk makan malam?”

“Di tempat ini lagi saja, oke?”

“Oke.”

Merekapun sepakat akan bertemu lagi nanti sekitar pukul 8 malam, ditempat yang sama saat Rio berhenti mengantarkan Ginem pulang.

Belum lama Ginem sampai dan beristrahat dirumah, Ginem sudah berias didepan cermin dikamarnya, memakai gaun yang baru saja dibelikan Rio tadi, dan merias dirinya secantik mungkin seakan enggan melewati kesempatan yang sangat berharga baginya, yaitu dimana kesempatan makan malam bersama Rio.

Saat keluar dari kamarnya, lagi – lagi ibunya bingung dengan sikap Ginem. Tak pernah sebelumya ia berpenampilan secantik ini, seakan ingin pergi keluar malam – malam begini. Rasa penasaran ibunya memberanikan dirinya untuk bertanya langsung kepada anaknya, Ginem.

Arep nang ngendi kowe nduk? Malam – malam begini bukannya tidur. Apa kamu tuh ga ada tugas dikampusmu?” Tanya ibunya baik – baik takut menyinggung anaknya lagi seperti tadi siang ketika Ginem hendak berangkat kuliah.

“Aku mau makan malam mbok.” Jawab Ginem singkat.

“Sama siapa? Ini sudah malam. Si mbok masak masakan kesukaanmu, ayo makan malam sama si mbok saja. Mbok masak balado terong kesukaanmu.” Kata ibunya yang sebenarnya mengkhawatirkan Ginem keluar malam – malam, karena ia masih terlalu lugu dan buta akan kejamnya kota Jakarta jika tidak bisa menjaga diri.

“Bosen aku setiap makan malam sama mbok mulu, aku juga bosen mbok makan sama terong – oncom – telor – terong – oncom – telor, selalu begitu berulang – ulang. Kali ini aku mau ngerasain makan enak mbok. Aku wis gede, wis ra sah khawatirke aku yo. Aku berangkat dulu mbok. Assalamualaikum.” Ginem bergegas untuk keluar rumah, khawatir ibunya akan menasehatinya semakin lama.

Tanpa Ginem sadari, ia telah membuat ibunya menangis dalam hati, matanya bengkak membendung air mata yang ia tahan. Ia tak ingin menangis didepan Ginem. Ibunya hanya bisa berdoa dalam hati semoga anaknya bergaul dengan orang – orang yang tepat dan tidak menjerumuskan dirinya kepergaulan yang salah. Dengan cepat ia menyeka air matanya, mengelus dadanya, sambil melihat anaknya yang berlalu meninggalkannya. Kali ini balado terong buatannya tidak ada yang mau menyentuhnya. Ginem sudah bosan dengan masakan – masakan darinya, ibunya pun sudah tak bernafsu lagi untuk makan dengan keadaan seperti ini, tanpa anaknya lagi disampingnya.

Diusia yang semakin tua dan badan yang semakin renta, ibunya sering sakit – sakitan, ditambah beban pikiran yang dirasa semenjak anaknya berubah. Ibunya seringkali pusing setelah berkeliling menjual gado – gado. Dan tenaganya pun tidak sekuat dulu yang kuat untuk mengurut orang – orang sekitar yang membutuhkan jasa pijatnya. Namun ibunya menyembunyikan akan hal ini, ia tidak ingin mengganggu anaknya yang terlihat semakin bahagia dengan kehidupan barunya.

********

Dimalam itu, mobil Rio meluncur dengan cepat, baru setengah jalan hujan deras mengguyur kota Jakarta. Untung mereka mengendarai mobil, jadi tidak kebasahan dengan air hujan. Jantung Ginem berdetak sangat cepat saat tangan kiri Rio menggenggam tangan kanannya. Sambil mengendarai mobilnya, Rio tak henti – hentinya memuji penampilan Ginem yang semakin hari semakin mempesona baginya.

“Kamu cantik banget Gin malam ini. Aku suka sama kamu.” Suara Rio memecahkan keheningan dalam mobilnya, memecahkan lamunan Ginem yang dari tadi hanya bisa berdiam membayangkan jika ia menjadi pacarnya.

“Makasih.” Jawab Ginem singkat, dengan wajah yang memerah seperti tomat karena tersipu malu dengan pujian yang didapat dari Rio. Ia sangat bahagia mendapat pujian dari Rio. Ingin teriak, namun tidak mungkin, karena hal itu bisa saja membuat Rio menjadi ilfeel terhadapnya. Mungkin jika kaca mobilnya terbuka, Ginem bisa melompat keluar saking girangnya. Hahaa.. mungkin berlebihan, namun itulah perasaannya.

Mobil pun sampai ditempat tujuan. Restaurant terletak dipinggir pantai, dengan suasana malam yang terlihat sangat romantis. Makan malam pun berlangsung dengan sangat menyenangkan, diiringi pemain – pemain musik yang disewa oleh Rio untuk mengiringi makan malamnya yang panjang bersama Ginem akan semakin romantis.

Malam semakin larut, hujanpun mulai mengguyur daerah tempat mereka makan malam. Ginem mulai larut dengan suasananya yang sangat romantis dan terbuai dengan rayuan – rayuan maut milik Rio. Entah setan apa yang merasuk dalam pikiran Ginem dan Rio, hingga mereka memutuskan untuk tidak pulang malam itu, mereka ingin menghabiskan malam disebuah penginapan dipinggir pantai. Rio menyewa hanya satu kamar, mereka satu kamar malam ini. Urat malu Ginem sudah terputus rasanya. Ginem yang dulu pemalu dan dipandang lugu, sekarang cap itu telah hilang dari dirinya. Ginem telah menjadi anak yang liar dan tidak memiliki rasa malu lagi dengan siapapun. Ia menuruti semua ajakan nafsu yang akan memperosokkan dirinya kepergaulan yang salah.

Hingga larut malam ibunya menunggu Ginem yang tidak kunjung pulang dan perasaan khawatir timbul dari hatinya, khawatir jika terjadi hal – hal yang tidak diinginkan pada puteri satu – satunya itu. Ginem sama sekali tidak berpikir jernih untuk mengambil suatu tindakan. Akal sehatnya telah terutup dengan kenikmatan duniawi yang menjerumuskannya kedalam pergaulan bebas. Semua ini karena ia selalu tutup kuping atas semua nasehat ibunya. Dia tidak memikirkan keadaan ibunya yang semakin hari semakin lemah karena penyakit tua yang dideritanya.

Dan ibunya pun sampai ketiduran dibangku yang berada diteras rumahnya saat menunggu Ginem pulang. Sebelum tidur, ibunya tak henti – hentinya menangis hingga air mata itu kering dengan sendirinya. Ya Tuhan, betapa bodohnya Ginem menyia – nyiakan ibu sebaik ini. Seorang ibu yang rela mati – matian hanya untuk mengantarkan anaknya pada kesuksesan nanti. Seorang ibu yang sampai banting tulang berjualan gado – gado diusianya yang mulai renta hanya karena tak ingin melihat anaknya seperti dirinya yang kelak hanya akan menjadi tukang gado – gado dan tukang urut keliling. Dibalik kesedihan ibunya yang mendalam, Ginem sedang bersenang – senang menikmati malamnya bersama Rio, lelaki yang ia sayangi.

********

Keesokan paginya …

Bruumm.. Bruumm..” suara rem mobil berhenti persis didepan pekarangan rumahnya yang membuat ibunya bangun dan menyadari bahwa semalaman ia sampai ketiduran menunggu Ginem.

Ginem hanya menundukkan wajah, bukan karena takut dimarahi ibunya, namun karena malu jika Rio tahu bahwa sesungguhnya ibunya adalah hanya seorang pedagang gado – gado. Betapa kecewa hati ibunya Ginem melihat anaknya pulang hingga pagi dengan diantarkan lelaki tidak jelas asal usulnya.

Timbul pikiran – pikiran negatif dalam hati ibunya. Dengan siapa Ginem bermalam semalam? Apakah dengan lelaki ini? Apa saja yang telah dilakukannya terhadap anak satu – satunya itu?

“Ya Allah, jangan sampai terjadi apa – apa dengan anakku, jangan sampai dirinya menjadi seorang wanita tanpa kehormatan lagi, semoga tidak terjadi suatu hal yang akan menghancurkan hidupnya kelak.” Doa ibunya hanya dalam hati. Berharap tak sedikitpun yang hilang dari diri Ginem.

“Ini mami kamu sayank?” Tanya Rio pada Ginem sambil menunjuk kearah ibunya Ginem.

“Iya sayank, ini mami aku.”

“Mami, ini pacar baru aku.”kata Ginem memperkenalkan ibunya pada Rio, kekasih barunya itu.

Ginem tambah melukai hati ibunya. Bagaimana tidak, sehari - hari ia memanggilnya dengan sebutan “si mbok”, namun sekarang ia memanggil “mami” hanya karena malu dipandang kampungan oleh lelaki yang sedang dicintainya saat ini. Ginem belum menyadari, jika kasih sayang ibunya jauh lebih dalam dan lebih tulus untuknya sepanjang masa dibandingkan dengan kasih sayang Rio yang mungkin hanya sesaat, dan akan meninggalkannya sewaktu – waktu tanpa ia sadari.

Merekapun berpisah karena Rio harus segera pulang. Didalam rumah, ibunya menangis atas kelakuan Ginem. Kali ini kekecewaan ibunya memuncak, nangispun sudah tidak mampu terbendung lagi. Namun bagaimana respon Ginem melihatnya? Dia hanya memalingkan muka dan tak ingin memandang ibunya yang sedang menangisinya. Bagi Ginem saat ini, ia ingin hidup bebas tanpa aturan dan bisa menikmati masa – masa remajanya seperti orang lain.

********

Dan kisah seperti itupun berlanjut hingga sekitar empat bulan lamanya, dan semuanya berakhir begitu saja. Semua masa – masa indahnya bersama Rio harus berakhir. Ginem stress, ia tak mampu lagi berpikir banyak. Rio pergi meninggalkannya setelah ia mengenal gadis yang berprofesi sebagai model, yang sering tampil di majalah sampul, yang bernama Feronica. Rio mulai pergi demi wanita lain yang dipikirnya lebih menarik darinya. Ginem benar – benar jatuh, hancur tak tertahan lagi, tak lagi bersemangat ia menjalani hari – harinya. Yang lebih menyakitkan adalah ketika Rio berani memaki – maki dirinya didepan umum karena tak sudi lagi didekati olehnya.

Namun Ginem juga tak menyadari jika apa yang ia alami dan rasakan saat ini adalah sebagai “karma” akibat ia sering membentak – bentak ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya. Ia tak sadar, jika ibunya jauh lebih hancur dan jatuh sakit karena telah dicampakkan oleh anaknya sendiri. Tak sedikitpun ia memikirkan nasib ibunya yang sudah beberapa hari tidak berjualan karena sakit. Yang dipikiran Ginem hanyalah Rio, Rio, dan Rio.

Suatu hari ia teringat akan sahabat pertamanya dulu, Jenifer, Stevani, dan Jessica. Ia mulai menghubunginya satu demi satu, ternyata mereka masih mengenalnya. Ginem bilang ia ingin bertemu mereka, melepas rindu, dan saling berbagi memecahkan masalah yang sedang membebani pikirannya. Ginem mengajak mereka bertemu di Mall yang sama untuk menemaninya refreshing.

Sepulangnya dari kuliah, Ginem langsung bergegas ke halte bus untuk menunggu bus yang ditunggu – tunggu datang. Tak lama bus berwarna hijau itu datang dan langsung berhenti didepannya dan langsung ia naiki. Setengah jam berlalu, akhirnya Ginem sampai ke Mall yang dituju. Ginem langsung ke lantai 3 didepan restaurant Holland, tempat ia janjian dengan Jenifer dan kawan – kawan. Tak lama ia menunggu, tampaklah dari sudut kiri tiga wanita cantik dan sexy itu, mereka segera mendapatkan Ginem yang sedang berdiri sendiri sabil menatap layar handphone-nya.

“Hai, Gina !” Sapa Jenifer kemudian saat mendapati Ginem sedang berdiri menunggunya.

“Hai semuanya ! Ya ampun kangen banget aku mbak sama kalian ini. Apa kabar?”Tanya Ginem kemudian setelah berpelukan dengan satu demi satu dari mereka.

“Baik – baik aja ko kita, Gin. Kamu sendiri bagaimana kabarya? Wow, penampilanmu semakin oke saja.” Jawab Stevani yang juga langsung menyanjung Ginem.

“Ah bisa aja mbak Stevani ini, ini juga kan berkat mbak aku bisa belajar dandan seperti ini, hehe.. Aku..kurang baik mbak keadaannya.” Suara Ginem mulai melemah.

“Eh jangan disini, mending kita masuk saja ke restaurant Holland, biar lebih enak ngobrolnya, lagipula gw sudah lapar banget.” Ajak Jessica kepada teman – temannya untuk segera masuk ke restaurant tersebut yang menyediakan makanan – makanan khas Negara Kincir Angin, Belanda.

Didalam, mereka berbincang – bincang sambil menyantap makanan yang ada dihadapan masing – masing sesuai pesanan. Ginem memulai pembicaraan tersebut. Ia bercerita dari awal perubahan dirinya hingga ia berkenalan dengan Rio, cowok yang sangat ia sayangi, dan sampai akhirnya ia harus kehilangan Rio karena wanita lain. Semua Ginem ceritakan sangat lengkap, tak jarang ia mengeluarkan air matanya sebagai tanda bahwa hatinya sangat sedih, kacau, galau, dan hancur.

Teman – temannya mengerti perasaan Ginem, mereka paham betul bahwa Ginem sangatlah butuh refreshing. Mereka mengajak Ginem ketempat yang belum pernah ia temui didesanya dulu. Mobil Jessica melaju dengan cepatnya menuju tempat yang dimaksud. Setelah sampai, Jessica memarkirkan mobilnya tepat didepan pintu masuk. Ginem bingung, dimana ia saat ini, sepertinya ramai sekali didalam dan dari luar terdengar suara music yang keras, seperti suara DJ. Ya benar saja, Ginem dibawa ke diskotik terkenal didaerah Jakarta. Awalnya Ginem enggan masuk kedalamnya, namun setelah dipaksa akhirya ia mau juga, karena kata Jenifer saat kepala sedang pusing dan banyak pikiran, tempat inilah solusinya. Tempat yang full diiringi oleh musik – musik DJ yang dengan nada – nadanya bisa menghantarkan semua orang didalam bergoyang sesukanya mengikuti irama musik.

Ginem mulai diajak untuk mencoba minum – minuman beralkohol, Ginem tidak tahu apa – apa akan hal itu, ia hanya menuruti apa kata sahabat – sahabatnya. Dan Ginem pun teler dibuatnya karena terlalu banyak meminum alkohol. Untuk jalanpun Ginem harus dipapah, karena ia tak sanggup lagi berdiri tegak seperti biasanya.

Jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi, Jenifer mulai mengantarkan Ginem pulang. Dipapahnya Ginem bersama dua temannya lagi menuju mobil milik Jessica. Dibukakannya pintu untuk Ginem, dan dengan hati – hati mereka mendudukkan Ginem yang dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar.

********

Sesampainya dirumah, Ginem tak lagi melihat ibunya duduk didepan teras rumahnya, Ginem bisa bernafas lega karena ibunya tidak melihat keadaannya yang sedang mabuk berat. Ginem pelan – pelan membuka pintu rumah lalu membuka pintu kamarnya ditemani Jen dan kawan – kawan yang mengantarkannya hingga kekamar. Lalu mereka pulang.

Pagi – paginya setelah sadar, ia langsung bangun dari tidurnya. Ia mencoba mengingat – ngingat apa yang terjadi semalam? Mengapa malam itu ia mampu melupakan kesedihannya? Siapa yang mengantarkan pulang dirinya? Tapi ia tak menghiraukan semua itu. Yang ingin ia lakukan adalah bergegas kekamar mandi untuk mandi dan segera sarapan. Ia mulai merindukan sosok ibunya. Namun, sejak kemarin ia tak melihat ibunya. Kemana ibunya? Ginem mulai khawatir.

Dengan mata yang masih sayu karena baru saja bangun dari tidur nyenyaknya, ia menuju kamar ibunya. Dan betapa kagetnya Ginem saat melihat ibunya terbujur kaku. Sepertinya ibunya mengalami serangan jantung karena kerap kali memikirkan Ginem. Ginem berteriak – teriak meminta tolong. Bagaimanapun juga, tak rela jika dirinya harus kehilangan ibunya, rasa sesal sangat menyelimuti dirinya saat itu. Dengan cepat tetangga berbondong – bondong mengantarkan ibunya Ginem ke Rumah Sakit terdekat untuk diperiksa lebih lanjut.

Setelah menunggu beberapa saat dengan kekhawatiran dan penyesalan yang mendalam, akhirnya Dokter yang menangani ibunya pun keluar dan menanyakan siapa keluarga korban. Ginem pun mengangkat tangannya dan segera menghampiri Dokter tersebut. Dan dengan jawaban menggeleng – gelengkan kepala, dokter itu memberi pertanda bahwa ibunya sudah tidak bisa lagi diselamatkan. Ginem lemas, serasa sangat hancur hidupnya, tak henti –hentinya ia menangis dan langsung berlari menuju Almarhumah ibunya dan langsung memeluknya meminta maaf.

Ginem menyesal. Lebih menyesal dibandingkan penyesalannya saat kehilangan Rio, kekasihnya. Dirinya hancur, melebihi hancur hatinya saat Rio memaki – maki dirinya didepan umum. Kini ia menyadari bahwa hanya ibunya yang paling menyayangi dirinya, rela melakukan apapun demi dirinya. Ginem tak lagi memiliki siapa – siapa. Ia yatim – piatu saat ini. Ingin rasanya ia mengulang semuanya dari awal, namun bukan waktu namanya jika bisa diputar ulang. Ia hanya bisa pasrah dan berdoa semoga Almarhumah ibunya bisa ditempatkan ditempat terindah disurga nanti. Ginem berjanji akan menjadi anak yang bisa dibanggakan, yang tidak lagi terbawa pergaulan yang salah yang menghancurkan dirinya.

Ginem akan merubah penampilannya lagi seperti sebelumnya. Tak peduli apa kata orang terhadapnya nanti, yang penting ia ingin menjalani hidupnya sesuai harapan ibunya. Ia harus bisa lulus kuliah dengan hasilnya sendiri meneruskan pekerjaan ibunya menjual gado – gado. Ia yakin ia mampu melewati semuanya. Semua ini untuk menebus kesalahan terbesarnya terhadap ibunya, walaupun ia sadar ia tidak akan mampu membalas semua kebaikan dan kasih sayang yang diberikan ibunya. Ginem sayang si mbok.