Sabtu, 26 Mei 2012

TUGAS 3 : NERACA PERDAGANGAN INTERNASIONAL INDONESIA - AMERIKA


1.         NERACA PERDAGANGAN INTERNASIONAL INDONESIA - AMERIKA

Neraca Perdagangan (Balance of Trade) merupakan bagian panting dari Neraca Pembayaran (Balance of Payment) yang merupakan ringkasan laporan rugi laba dari arus keluar-masuk barang, jasa dan asset-aset dalam suatu perekonomian selama kurun waktu tertentu, maka untuk dapat mengetahui bagaimana hubungan perdagangan luar negeri Indonesia-Amerika akan dianalisis hubungan ekonomi kedua negara tersebut dengan menggunakan data neraca perdagangannya.
Data pada tabel berikut inl adalah data perdagangan barang Amerika Serikat (ekspor, impor dan serisih) dengan Indonesia dalam juta dolarA.S. selama 12 tahun dari tahun 1997-2008.

Table 1
Trade in Goods (Imports, Exports
and Trade Balance) with Indonesia
All figures are in millions of U.S. dollars

No
Year
Exports
Imports
Balance
1
1997
4.522,20
9.188,30
-4.666,10
2
1998
2.299,10
9.340,70
-7.041,60 -7.487,10 -7.965,20
3
1999
2.038,40
9.525,50
4
2000
2.401,70
10.366,90
5
2001
2.520,50
10.103,50
-7.583,00
6
2002
2.555,80
9.643,40
-7.087,60
7
2003
2.516,40
9.515,10
-6.998,70
8
2004
2.671,40
10.810,50
-8.139,10
9
2005
3.053,90
12.014,30
-8.960,00
10
2006
3.078,50
13424,70
-10.346,20
11
2007
4.234,80
14.301,30
-10.066,40
12
2008
5.913,10
15.799,00
-9.885,90 -96.226,90
Total
37.805,80
134.033,20

Sumber: Diolah dari U.S. CENSUS BUREAU, FOREIGN TRADE

Tabel 1 di atas merupakan neraca perdagangan Amerika yang memuat catatan transaksi perdagangan Amerika-Indonesia (ekspor, import, dan selisih) selama kurun waktu 12 tahun dari periode 1997-2008 yang bersumber dari U.S. Census Bureau, Foreign Trade. Untuk membaca tabel neraca perdagangan Amerika di atas, bagi Indonesia adalah sebaliknya. Artinya bila ekspor bagi Amerika maka itu berarti impor bagi Indonesia. Begitu pula impor bagi Amerika, maka bagi Indonesia adalah ekspor.
Berdasarkan Neraca Perdagangan (Balance of Trade) Amerika di atas, nilai ekspor barang Indonesia ke Amerika Iebih besar daripada nilai impor barang Indonesia dari Amerika. Bagi Indonesia, Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan dengan Amerika (ekspor > impor). Sedangkan bagi Amerika sebaliknya. Artinya Amerika mengalami defisit perdagangan dengan Indonesia.
Total nilai impor barang Indonesia dari Amerika selama periode 1997­2008 sebesar 37.805,80 juta dolarA.S. dan total nilai ekspor barang Indonesia ke Amerika selama periode 1997-2008 sebesar 134.033,20 juta dolarA.S. Secara rata-rata impor barang Indonesia dad Amerika selama periode 1997-2008 sebesar 3.150,48 juta dolar A.S dan rata-rata ekspor barang Indonesia ke Amerika selama periode 1997-2008 sebesar 11.169,43 juta dolarA.S.
Pada masa sebelum terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, nilai ekspor barang Indonesia dari Amerika pada tahun 1997 mengalami kenaikan sebesar 545,40 juta dolarA.S. atau naik sebesar 13,71 % daripada tahun 1996. Di saat masa krisis ekonomi terjadi di Indonesia pada tahun 1997 ke tahun 1998, impor barang Indonesia dari Amerika mengalami penurunan sebesar 2.223,10 juta dolarA.S. atau turun sebesar 49,16% daripada tahun sebelumnya.
Nilai impor barang Indonesia dari Amerika yang tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar 5.913,10 juta dolarA.S. dan yang terendah terjadi pada tahun 1999 sebesar 2.038,40 juta dolarA.S. Nilai impor barang Indonesia dari Amerika yang tertinggi terjadi pada masa peristiwa krisis keuangan melanda Amerika. Sementara impor barang Indoensia dari Amerika yang terendah terjadi masa krisis ekonomi melanda Indonesia yaitu tahun 1999.
Tabel di atas menjelaskan bahwa total nilai impor barang Indonesia dari Amerika sebesar 37.805,80 juta A.S. Iebih kecil dibandingkan dengan ekspor barang Indonesia keAmerika sebesar 134.033,20 juta dolarA.S. Dengan kata lain, Indonesia lebih banyak menjual barang ke Amerika daripada menerima barang dari Amerika. Bagi Indonesia, karena ekspor barang Indonesia ke Amerika lebih besar daripada impor barang Indonesia dari Amerika, maka Indonesia mengalami surplus perdagangan (ekspor > impor) dengan Amerika sebesar 96.226,90 jut dolarA.S.
Dad sisi Amerika, Amerika Iebih sedikit menjual (mengekspor) barang ke Indonesia sebesar 3.150,48 juta dolarA.S. dibandingkan dengan Amerika membeli (mengimpor) barang dari Indonesia sebesar 134.033,20juta dolarA.S. Bagi Amerika, karena ekspor barang Amerika ke Indonesia (bagi Indonesia berarti impor) lebih kecil daripada impor barang Amerika dari Indonesia (bagi Amerika berarti ekspor) dari Amerika, maka Amerika mengalami defisit perdagangan (ekspor < impor) dengan Indonesia.

2.         KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
2.1       Kesimpulan
Indonesia selama periode 1997-2008 telah berhasil menjual atau mengekspor barang Indonesia ke Amerika sebesar total nilai 134.033,20 juta dolarA.S. Sementara Indonesia hanya membeli atau mengimpor barang dari Amerika selama periode 1997-2008 sebesar 37.805,80 juta dolar A.S. Perbandingan nilai antara ekspor barang Indonesia ke Amerika dengan impor barang Amerika ke Indonesia iebih besar nilai ekspor barang Indonesia ke Amerika daripada Indonesia mengimpor barang dari Amerika. Bagi Indonesia, itu berarti Indonesia mengalami surplus perdagangan (ekspor e" impor) dengan Amerika selama periode 1997-2008 sebesar nilai total 96.227,40 juts dolar A.S.
Hubungan perdagangan barang antara Indonesia - Amerika selama periode 1997-2008 memberikan keuntungan bersama kepada masing-masing negara. Oleh karena itu hubungan kerja-sama ekonomi Indonesia-Amerika saling membutuhkan. Di satu sisi Indonesia dapat menjual atau mengekspor barang­barang Indonesia ke Amerika. Di sisi yang lain Amerika juga dapat menjual barangnya ke Indonesia yang bagi Indonesia adalah impor barang Amerika.
Amerika merupakan salah satu pasar utama barang produk Indonesia. Amerika sebagai pasar utama barang produk Indonesia mengandung anti menjalin hubungan kerja-sama ekonomi dengan Amerika lebih memberikan keuntungan bagi Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia merasa perlu untuk menjaga keharmonisan hubungan Indonesia-Amerika karena neraca perdagangan Indonesia-Amerika membuktikan bahwa Indonesia memperoleh surplus perdagangan dengan Amerika sebesar 96.226,40 juta dolarA.S. selama kurun waktu 1997-2008.
Rata-rata tingkat pertumbuhan ekspor barang Indonesia ke Amerika selama periode 1997-2008 sebesar 5%. Rata-rata tingkat pertumbuhan impor barang Indonesia dari Amerika selama kurun waktu 18 tahun sebesar 2%. Itu artinya rata-rata tingkat pertumbuhan ekspor barang Indonesia ke Amerika lebih besar 3% daripada rata-rata tingkat impor barang Indonesia dari Amerika. Sementara rata-rata tingkat pertumbuhan surplus perdagangan Indonesia dengan Amerika sebesar 6% selama periode 1997-2008.
Indonesia memperoleh manfaat langsung dari hubungan dagang dengan Amerika dalam konteks selalu mengalami surplus perdagangan.

2.2       Rekomendasi
Neraca perdagangan Indonesia-Amerika selalu menunjukkan bahwa Indonesia selalu mengalami surplus perdagangan dengan Amerika karena nilai ekspor barang Indonesia ke Amerika, daripada impor barang dari Amerika. Sebagai konsekuensi logisnnya, Indonesia harus bersikap tetap menjaga hubungan internasional khususnya dengan Amerika Serikat secara sating menghargai dan sating memberikan manfaat di dalam kebijakan luar negeri Indonesia.
Sementara usaha-usaha meningkatkan cadangan devisa harus diupayakan secara maksimal dengan cara di antaranya meningkatkan ekspor dan mengurangi impor balk secara volume maupun pangsa pasar serta menggalakkan diversifikasi ekspor.
Kendati Amerika masih tetap menjadi pasar utama ekspor Indonesia, alternatif pasar baru harus menjadi target perdagangan Indonesia di kemudian hari. Pasar baru ini akan melahirkan keanekaragamkan komoditi ekspor baru.



Rabu, 28 Maret 2012

TUGAS 2 SOFTSKILL : KASUS LETTER OF CREDIT

TUGAS 2

KASUS LETTER OF CREDIT

Eksistensi Letter Of Credit (L/C) Syariah dan
Permasalahan Hukumnya

Pendahuluan

Era globalisasi berimbas pada semakin mudahnya suatu negara melakukan hubungan perdagangan dengan negara lain demi memenuhi kebutuhan masyarakat dalam suatu negara. Perdagangan antar negara atau internasional tentu membutuhkan mekanisme tertentu yang terbilang lebih rumit dibandingkan dengan perdagangan domestik. Untuk itu dibutuhkan suatu media yang mempermudah transaksi perdagangan internasional, salah satunya dalam hal sistem pembayaran.

Letter of credit (L/C) sebagai primadona dalam pembayaran pada transaksi perdagangan internasional (kegiatan ekspor-impor) dinilai memberikan kepastian dan keamanan. Penjual atau eksportir mendapat kepastian bahwa pembayaran akan dilakukan apabila dokumen-dokumen yang diterima telah sesuai dengan persyaratan L/C, dan kepada pembeli atau importir dipastikan bahwa pembayaran hanya akan dilakukan oleh bank apabila telah sesuai dengan persyaratan dalam L/C.

Seiring dengan kebutuhan masyarakat akan penerapan prinsip syariah dalam kegiatan bisnis, termasuk dalam perdagangan internasional kemudian muncul fasilitas L/C dalam dunia perbankan syariah. Namun demikian, keberadaan L/C berbasis syariah tersebut belum banyak dikenal dan dipergunakan oleh para pebisnis Indonesia.

Di samping itu, aturan hukum tentang L/C syariah belum diatur secara jelas dan rinci. Dewan Pengawas Syariah memang sudah mengeluarkan fatwa tentang L/C impor syariah dan L/C ekspor syariah sebagai solusi atas fasilitas L/C dalam perbankan konvensional yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip syariah. Namun fatwa tersebut dinilai masih belum mampu mencover seluruh persoalan yang ada dalam L/C. Dalam tulisan ini penulis berusaha membahas eksistensi letter of credit syariah dan permasalahan hukumnya dengan menguraikan pengertian dan mekanisme L/C syariah, hubungan hukum dalam L/C syariah, serta resiko dan permasalahan hukum yang muncul dalam L/C syariah.

Pengertian dan Mekanisme L/C Syariah

Secara umum L/C digunakan untuk membiayai sales contract jarak jauh antara pembeli dan penjual yang belum saling mengenal dengan baik. Pendek kata, kehadiran L/C digunakan untuk membiayai transaksi perdagangan internasional. Menurut ketentuan Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCPDC 500), L/C merupakan janji dari bank penerbit untuk melakukan pembayaran atau memberi kuasa kepada bank lain untuk melakukan pembayaran kepada penerima atas penyerahan dokumen-dokumen yang sesuai dengan persyaratan L/C. Inti dari pengertian L/C di sini adalah bahwa L/C merupakan “janj i membayar”. Sedangkan menurut Bank Indonesia, L/C merupakan janj i dari issuing bank untuk membayar sejumlah uang kepada eksportir sepanjang ia dapat

memenuhi syarat dan kondisi L/C tersebut.1

L/C sebagai alat pembayaran sangat disukai secara internasional karena unsur janji pembayaran yang ada pada instrumen ini. Penerima yang menjual barang kepada pemohon merasa aman dibayar dengan cara L/C karena adanya janji pembayaran dari bank penerbit kepadanya. Sebaliknya, pemohon juga merasa aman membeli barang dengan cara L/C karena akan menerima dokumen-dokumen yang dikehendakinya sebab pemenuhannya merupakan syarat pembayaran L/C.

Dalam ranah pembahasan L/C berbasis syariah dikenal dua jenis L/C, yaitu L/C impor syariah dan L/C ekspor syariah. Berdasarkan fatwa Dewan Pengawas Syariah L/C impor syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada eksportir yang diterbitkan oleh bank untuk kepentingan importir dengan pemenuhan tertentu sesuai dengan prinsip syariah. Adapun L/C ekspor syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada eksportir yang diterbitkan oleh bank untuk memfasilitasi perdagangan ekspor dengan memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan prinsip syariah.

Latar belakang munculnya fatwa Dewan Pengawas Syariah tersebut disebabkan karena mekanisme transaksi L/C impor maupun L/C ekspor yang merupakan salah satu jasa perbankan dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Penentuan biaya pelaksanaan L/C yang kurang transparan dan adanya unsur bunga demi keuntungan bank

terkait pemberian fasilitas pinjaman bagi importir yang tidak mempunyai dana yang cukup di bank merupakan suatu hal yang bertentangan dengan konsep bisnis secara Islami.

Berdasarkan ketentuan Fatwa Dewan Pengawas Syariah Nomor: 34/DSN- MUI/IX/2002, bahwa akad untuk L/C impor yang sesuai dengan syariah dapat digunakan dengan beberapa bentuk yaitu menggunakan akad wakalah bil ujrah, akad wakalah bil ujrah dan qardh, akad murabahah, akad salam dan murabahah, akad wakalah bil ujrah dan mudharabah, dan akad musyarakah.

Importir yang memiliki dana cukup di bank sebesar harga pembelian barang impor maka importir dan bank dapat melakukan akad wakalah bil ujrah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor, dan besarnya ujrah harus disepakati diawal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase. Hal ini menunjukkan kejelasan upah atau keuntungan yang diperoleh bank melalui akad wakalah.

Apabila importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang diimpor maka model akad yang dapat digunakan adalah bank dapat memberikan dana talangan kepada importir untuk pelunasan pembayaran barang impor (akad wakalah bil ujrah dan qardh), dan bank dapat bertindak sebagai shahibul mal yang menyerahkan modal kepada importir sebesar harga barang yang diimpor (akad wakalah bil ujrah dan mudharabah). Kemudian jika importir tidak mempunyai dana yang cukup pada bank untuk pembayaran harga barang impor dan pembayaran belum dilakukan maka hutang kepada eksportir dialihkan oleh importir menjadi hutang kepada bank dengan meminta bank membayar kepada eksportir senilai barang yang diimpor (akad

wakalah bil ujrah dan hawalah).2

Sedangkan terkait L/C ekspor syariah adalah mendasarkan pada Fatwa Dewan Pengawas Syariah Nomor: 35/DSN-MUI/IX/2002, bahwa akad untuk L/C ekspor yang sesuai prinsip syariah dapat berupa: akad wakalah bil ujrah, akad wakalah bil ujrah dan qardh, akad wakalah bil ujrah dan mudharabah, akad musyarakah, akad al-bai’ dan wakalah.

Pelaksanaan akad wakalah bil ujrah dilakukan dengan ketentuan: bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor; bank melakukan penagihan kepada bank penerbit L/C selanjutnya dibayarkan kepada eksportir setelah dikurangi ujrah; serta besarnya ujrah harus disepakati diawal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam prosentase.

Akad wakalah bil ujrah dan qardh dilakukan dengan ketentuan: bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor; bank melakukan penagihan kepada bank penerbit L/C; bank memberikan dana talangan kepada nasabah eksportir sebesar harga barang ekspor; besarnya ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk prosentase; pembayaran ujrah dapat diambil dari dana talangan sesuai kesepakatan dalam akad; dan antara akad wakalah bin ujrah dan akad qardh tidak dibolehkan adanya keterkaitan (ta’alluq).

Akad wakalah bin ujrah dan mudharabah dengan ketentuan: bank memberikan kepada eksportir seluruh dana yang dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir; bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor; bank melakukan penagihan kepada bank penerbit L/C; pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (usance); pembayaran dari bank penerbit dapat digunakan untuk pembayaran ujrah, pengembalian dana mudharabah, dan pembayaran bagi hasil; serta besarnya ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk prosentase.

Akad musyarakah dapat dilakukan dengan ketentuan: bank memberikan kepada eksportir sebagian dana yang dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir; bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor; bank melakukan penagihan kepada bank penerbit L/C; pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (usance); pembayaran dari bank penerbit L/C dapat digunakan untuk pengembalian dana musyarakah dan pembayaran bagi hasi l.

Adapun pelaksanaan akad al-bai’ dan wakalah dilakukan dengan ketentuan: bank membeli barang dari eksportir; bank menjual barang kepada importir yang diwakili eksportir; bank membayar kepada eksportir setelah pengiriman barang kepada importir; dan pembayaran oleh bank L/C dapat dilakukan pada saat dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (usance).

Berdasarkan berbagai model akad dalam pelaksanaan L/C syariah dapat diperoleh manfaat bagi bank syariah dan nasabah. Bank syariah memperoleh sumber pendapatan dalam bentuk imbalan/fee/ujrah dari akad wakalah bil ujrah; sumber pendapatan dalam bentuk bagi hasil dari akad wakalah bil ujrah dan mudharabah; dan sumber pendapatan dalam bentuk imbalan/fee/ujrah dari akad wakalah bil ujrah dan hawalah. Sedangkan manfaat bagi nasabah adalah menerima barang yang diimpor disertai dokumen pendukung yang sesuai; memperoleh jasa penyelesaian pembayaran dan penjaminan; dan

akseptasi yang mendukung aktivitasnya dalam perdagangan internasional.3

Dalam menetapkan akad pembiayaan L/C syari’ah, proses analisis yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:4

a. Mengidentifikasi kebutuhan nasabah, apakah ingin melakukan pembiayaan ekspor atau impor.

b. Jika nasabah melakukan pembiayaan impor, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi apakah nasabah memiliki dana atau tidak.

c. Jika nasabah tidak memiliki dana, akad yang dapat digunakan oleh bank adalah akad mudharabah atau murabahah.

d. Jika nasabah memiliki dana, maka langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi apakah nasabah memiliki dana yang cukup atau tidak. Jika dana yang dimiliki nasabah cukup, bank Islam dapat menggunakan akad wakalah bil ujrah. Namun, jika nasabah tidak cukup, akad yang dapat digunakan adalah wakalah bil ujrah dan qardh atau musyarakah atau mudharabah.

e. Jika nasabah memerlukan pembiayaan ekspor, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi apakah nasabah memiliki dan atau tidak.

f. Jika nasabah tidak mempunyai dana, akad yang dapat digunakan oleh bank Islam adalah akad mudharabah atau murabahah.

g. Jika nasabah memiliki dana, langkah selanjutnya adalah mengident ifikasi apakah barang tersebut ready stock atau bukan. Jika ready stock, akad yang dapat digunakan adalah al-bai’ dan wakalah. Namun, jika bukan ready stock, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi apakah barang tersebut termasuk good in process atau bukan. Jika good in process, akad yang dapat digunakan adalah mudharabah. Jika bukan good in process, maka bank Islam tidak layak memberikan pembiayaan.

h. Jika nasabah memiliki dana, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi apakah dana yang dimiliki nasabah tersebut cukup atau tidak. Jika dana yang dimiliki nasabah cukup, bank Islam dapat menggunakan akad wakalah bil ujrah. Namun, jika dana nasabah tidak cukup, akad yang dapat digunakan adalah wakalah dan qardh atau musyarakah.

Hubungan Hukum dalam L/C Syariah

Keberadaan L/C muncul karena adanya hubungan kontrak, seperti tertuang dalam ketentuan Pasal 2 UCPDC 500 yang menyatakan documentary credit berarti setiap perjanjian apapun namanya atau maksudnya sesuatu bank (issuing bank) bertindak atas permintaan dan instruksi dari nasabah atau atas namanya sendiri. Dari ketentuan ini jelas, bahwa L/C terbentuk berdasarkan perjanjian atau kontraktual.

L/C merupakan kontrak yang independen dari kontrak dasarnya, yaitu kontrak penjualan (sales contract), dan permintaan penerbitan L/C. Sales contract merupakan cikal bakal penerbitan permintaan L/C yang merupakan dasar pula bagi penerbitan L/C. Berbicara tentang L/C syariah maka jenis hubungan hukum dalam L/C syariah relatif sama dengan L/C konvensional yaitu hubungan hukum antara pemohon dan penerima L/C, hubungan hukum pemohon dan bank penerbit L/C, hubungan hukum bank penerbit dan penerima L/C, hubungan hukum bank penerbit dan bank penerus, serta hubungan hukum bank penerus dan penerima. Untuk memperjelas hubungan hukum dalam L/C syariah akan diuraikan sebagai berikut:

Pertama, hubungangan hukum antara pemohon dan penerima L/C syariah. Hubungan hukum ini adalah didasarkan atas sales contract. Diterbitkannya L/C tidak lain karena dalam sales contract diatur cara pembayaran dengan menggunakan L/C. Apabila terjadi permasalahan atau sengketa antara penjual dan pembeli mengenai barang maka permasalahan tersebut diselesaikan oleh penjual dan pembeli sesuai kontrak yang telah disepakati.

Kedua, hubungan hukum antara pemohon dan bank penerbit L/C syariah. Hubungan hukum ini didasarkan pada kontrak yang dinamakan permintaan penerbitan L/C. Permintaan penerbitan L/C diperlukan dalam rangka merealisasi cara pembayaran sebagaimana diatur dalam sales contract. Jika bank penerbit setuju untuk melaksanakan permintaan pemohon, maka bank penerbit menerbitkan L/C. Dengan demikian L/C

diterbitkan berdasarkan permintaan penerbitan L/C.5

Bank penerbit menerbitkan L/C kepada penerima tidak boleh menyimpang dari permintaan penerbitan L/C. Jika bank penerbit melakukan penyimpangan, maka bank penerbit bertanggung jawab akan dampak negatif (resiko) yang mungkin timbul dari tindakannya. Pemohon hanya bertanggung jawab sebatas isi permintaan penerbitan L/C. Pemohon berhak menolak pembayaran kembali kepada bank penerbit terhadap L/C yang diterbitkan anak tersebut yang menyimpang dari permintaan penerbitan L/C. hal ini sejalan dengan trust theory yang mengatakan bahwa dana pemohon yang dibayarkan langsung kepada bank penerbit merupakan dana khusus yang dimaksudkan untuk digunakan sebagai pembayaran kepada pemegang wesel apakah penerima atau bank pengaksep yang telah melakukan pembayaran L/C kepada penerima. Bank penerbit berfungsi sebagai trustee.6

Ketiga, hubungan hukum bank penerbit L/C syariah dan penerima. Hubungan ini lahir atas dasar L/C yang diterbitkan bank penerbit yang disetujui penerima. Persetujuan penerima terhadap L/C diwujudkan melalui pengajuan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan L/C kepada bank penerbit. Sebelum L/C disetujui oleh penerima, maka

L/C merupakan kontrak sepihak dari bank penerbit yang tidak mengikat penerima.7

Keempat, hubungan hukum bank penerbit dan bank penerus. Hubungan ini didasarkan pada instruksi bank penerbit kepada bank penerus yang disetujui bank penerus. Bank penerbit memberi instruksi kepada bank penerus untuk meneruskan L/C. Hubungan hukum antara bank penerbit dan bank penerus adalah hubungan keagenan. Kelima, hubungan hukum bank penerus dan penerima. Hubungan hukum ini tergantung dari fungsi yang dilakukan oleh bank penerus sesuai dengan persyaratan L/C. Bank penerus dapat berfungsi sebagai bank penerus semata-mata, bank pengkonfirmasi, bank penegosiasi, bank pembayar, atau bank pengaksep.

Resiko dan Permasalahan Hukum dalam L/C Syariah

Kehadiran L/C syariah memberikan angin segar bagi para pebisnis yang terlibat dalam perdagangan internasional yang menginginkan penerapan prinsip syariah dalam kegiatan bisnisnya. Berdasarkan ketentuan Undang-undang Perbankan Syariah, bank umum syariah maupun unit usaha syariah dapat menjalankan kegiatan usaha berupa pemberian fasilitas L/C berdasarkan prinsip syariah. Namun demikian keberadaan L/C syariah di samping memberikan hal yang positif dalam mengakomodir kegiatan berdasarkan prinsip syariah ternyata juga menimbulkan resiko yang cukup besar terhadap bank maupun nasabah serta menimbulkan permasalahan hukum. Berikut akan dikemukakan resiko dan permasalahan hukum dari L/C syariah.

Pertama, resiko pembiayaan (credit risk) yang disebabkan oleh ketidakmampuan importir membayar tagihan penyelesaian L/C dari bank penerbit. Dalam perjanjian penerbitan L/C syariah antara importir dan bank syariah, importir tidak harus melunasi harga barang seketika pada saat perjanjian penerbitan L/C dibuat karena bank syariah dapat turut serta memberikan pembiayaan atau layanan perbankan lain pada importir, baik dengan akad qardh, hawalah, mudharabah, murabahah, dan musyarakah. Bank syariah tentunya harus benar-benar mempertimbangkan sebelum memberikan dana talangan atau pembiayaan kepada importir dalam penerbitan fasilitas L/C syariah. Sebab sangat mungkin importir tidak mampu menyelesaikan piutang kepada bank syariah atas L/C yang diterbitkan atas dirinya.

Kedua, resiko reputasi yang disebabkan oleh ketidakmampuan bank syariah memenuhi komitmen yang dijanjikan. Jika resiko ini terjadi tentu merugikan kepentingan importir dalam fasilitas L/C impor maupun kepentingan eksportir dalam fasilitas L/C ekspor karena akan menghambat proses penyelesaian transaksi perdagangan internasional. Nasabah yang memanfaatkan fasilitas L/C tersebut tentunya dapat menuntut ganti kerugian melalui mekanisme penyelesaian sengketa sesuai dengan akad yang disepakati dan berdasarkan hukum yang berlaku.

Ketiga, aturan tentang L/C syariah yang belum jelas dan lengkap. Dewan pengawas syariah memang sudah mengeluarkan fatwa tentang L/C impor syariah dan L/C ekspor syariah namun dinilai masih kurang lengkap. Dalam aturan tersebut tidak diatur secara jelas mengenai bentuk L/C yang boleh dipakai terkait pembatalan L/C, apakah menggunakan bentuk revocable L/C atau Irrevocable L/C. Bagi eksportir Indonesia akan lebih aman jika menerima irrevocable L/C sebab revocable L/C sangat berisiko dan sering terjadi kasus yang pada akhirnya merugikan pihak eksportir. Melalui irrevocable L/C dimaksudkan agar tercapai kepastian bahwa eksportir memperoleh pembayaran dan importir memperoleh barang melalui penguasaan atas dokumen dari barang yang diimpor.

Keempat, bank penerbit mempunyai kemungkinan besar berhubungan dengan bank konvensional yang berbasis pada bunga. Dalam pelaksanaan L/C tentu bank penerbit L/C syariah akan berhubungan dengan bank konfirmasi, bank koresponden, bank penerus, dan bank penerima yang notabene mayoritas berorientasi pada praktek perbankan konvensional. Untuk itu, peran Dewan Pengawas Syariah sangat diperlukan dalam mengawasi metode pembayaran L/C syariah agar tidak menyimpang dari prinsip syariah.

Kelima, tanggung jawab bank terhadap pengurusan dokumen L/C syariah. Berdasarkan artikel 4 UCPDC 500 maka bank dalam merealisasi L/C hanya berurusan dengan dokumen-dokumen saja. Inti realisasi L/C adalah kesesuaian dokumen-dokumen dengan persyaratan L/C. Oleh karena itu, bank harus melakukan penelitian atas dokumen-dokumen tersebut untuk dasar menentukan apakah dapat dibayar atau tidak. Dipertegas berdasarkan ketentuan artikel 13 huruf a UCPDC 500 maka bank wajib melakukan penelitian atas dokumen-dokumen yang diajukan kepadanya secara ketelitian yang wajar untuk menentukan apakah dokumen-dokumen telah memiliki kesesuaian dengan persyaratan L/C. Ukuran kesesuaian tersebut didasarkan pada standar praktik perbankan internasional. Dokumen-dokumen yang tidak konsisten satu sama lain merupakan cerminan bahwa tidak terdapat kesesuaian antara dokumen-dokumen dan L/C. Ketentuan ini mempunyai relevansi dengan doktrin kesesuaian mutlak yang terus berkembang.

Apabila ada konflik antara importir dan eksportir terkait barang yang diperjual belikan misalnya barang yang diterima oleh importir tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam sales contract maka importir tidak bisa meminta kepada bank untuk menangguhkan pembayaran kepada eksportir sebab bank hanya berurusan dengan dokumen. Sepanjang bank sudah menerima kelengkapan dokumen sesuai persyaratan L/C maka bank tidak boleh menangguhkan pembayaran. Persoalan yang muncul adalah dalam L/C syariah, bank dapat memberikan pembiayaan maupun jasa perbankan lainnya kepada importir maupun eksportir seperti melalui akad musyarakah, mudharabah, murabahah dan hawalah sehingga bank mempunyai hubungan dengan keberadaan barang yang menjadi obyek dalam sales contract. Apakah dalam kondisi seperti ini bank dapat melakukan intervensi di luar pengurusan dokumen.

Merujuk pada ketentuan artikel 4 UCPDC 500 maka bank tetap hanya berurusan dengan dokumen dalam penyelesaian L/C. Kemudian berdasarkan teori independensi maka antara sales contract, kontrak permintaan penerbitan L/C, kontrak L/C, dan kontrak keagenan dalam pelaksanaan L/C adalah terpisah. Sehingga jika ada persoalan terkait wanprestasi dalam sales contract karena barang yang diterima importir tidak sesuai dengan kontrak maka persoalan tersebut diselesaikan oleh ekportir dan importir, tanpa melibatkan kontrak L/C.

Beragam model akad yang dapat digunakan dalam L/C syariah yang dinilai paling tepat dan minim resiko adalah akad wakalah bil ujrah. Realitas akad wakalah adalah khusus berupa pengurusan dokumen-dokumen sesuai persyaratan L/C. Berarti wakalah dalam L/C adalah termasuk wakalah muqayyadah (khusus), yaitu pendelegasian (kuasa) terhadap pekerjaan tertentu. Dalam hal ini seorang wakil tidak boleh keluar dari wakalah yang ditentukan. 10 Akad wakalah dinilai lebih tepat mewakili proses L/C dibanding dengan akad lain dalam L/C syariah. Sebab bank tidak menanggung resiko keterlambatan atau ketidakmampuan nasabah yang menggunakan L/C untuk memenuhi kewajiban pengembalian atas dana talangan atau dana pembiayaan yang diberikan oleh bank. Jenis akad ini mempermudah proses jual beli yang dilakukan oleh importir dan eksportir,serta sesuai dengan keberadaan L/C untuk mempermudah proses perdagangan internasional

melalui mekanisme yang aman dan praktis, tanpa meni mbulkan persoalan lain.

Penutup

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diperoleh kesimpulan berikut: pertama, L/C merupakan janji dari bank penerbit untuk melakukan pembayaran atau memberi kuasa kepada bank lain untuk melakukan pembayaran kepada penerima atas penyerahan dokumen-dokumen yang sesuai dengan persyaratan L/C. Ada dua jenis L/C berdasarkan prinsip syariah, yaitu L/C impor syariah dan L/C ekspor syariah. L/C impor syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada eksportir yang diterbitkan oleh bank untuk kepentingan importir dengan pemenuhan tertentu sesuai dengan prinsip syariah. Adapun L/C ekspor syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada eksportir yang diterbitkan oleh bank untuk memfasilitasi perdagangan ekspor dengan memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan prinsip syariah.

Kedua, hubungan hukum dalam L/C syariah didasarkan pada kontrak atau akad sesuai dengan prinsip syariah. Ada empat kontrak yang terkait dalam pelaksanaan L/C, yaitu kontrak penjualan (sales contract), permintaan penerbitan L/C syariah, kontrak L/C syariah, dan kontrak keagenan. Keempat kontrak tersebut adalah independen atau terpisah. Adapun hubungan hukum yang ada dalam L/C syariah, yaitu hubungan hukum antara pemohon dan penerima L/C, hubungan hukum pemohon dan bank penerbit L/C, hubungan hukum bank penerbit dan penerima L/C, dan hubungan hukum bank penerbit dan bank penerus.

Ketiga, resiko dan permasalahan hukum yang muncul dalam L/C syariah meliputi: resiko pembiayaan (credit risk) yang disebabkan oleh ketidakmampuan importir membayar tagihan penyelesaian L/C syariah dari bank penerbit; resiko reputasi yang disebabkan oleh ketidakmampuan bank syariah memenuhi komitmen yang dijanjikan; aturan tentang L/C syariah yang belum jelas dan lengkap; bank penerbit mempunyai kemungkinan besar berhubungan dengan bank konvensional yang berbasis pada bunga dalam transaksi L/C syariah; dan tanggung jawab bank terbatas pada pengurusan dokumen L/C syariah terkait bank memberikan pembiayaan atau jasa perbankan lain kepada nasabah yang menggunakan fasilitas L/C syariah.